Cerita Sex Hot Nafsu Kenikmatan
Majalah Bokep - Setengah busana yang masih di pakai oleh Nisa denga posisi kedua tangannya memeleuk lututnya, terlihat
kedua paha yang putih dan mulus terpampang terlihat juga memek yang tersemat dari bulu bulu kecilnya
yang nampak baru di cukur.
Dengan nada yang beringas dan tatapan yang ingin dia berbisik di kupingku “Masukkkkanlah juga kak, aku
juga ingin merasakan kenikmatan tersebut”??
Tapi aku hanya diam dengan isyarat tubuhku dia sudah memahami kami sudah membuka pakaian bagian bawah,
tak selang beberapa lama aku dan Nisa bergelut di pojokan dengan penuh nafsu aku mainkan memeknya, dia
membalas dengan tangannya mendorong ke dalam agar cepat bersetubuh.
Tubuhnya terasa panas dan membara oleh gairah, bertubi-tubi kuciumi leher, pundak dan buah dadanya
yang kenyal dan besar itu. Ia hanya melenguh-lenguh melepas nafasnya yang menderu. Setiap remasan dan
kuluman… diiringi dengan erangan penuh kenikmatan.
Tanpa kusuruh ia membuka sebagian kancing bajunya. Menampakkan onggokan buah dada yang membulat dan
putih. Tanpa membuka tali beha ia mengeluarkan buah dadanya itu dan mengasongkannya ke mulutku.
Dengan rakus kukulum buah dada besar Nisa sepenuh mulutku. Ia mengerang antara sakit dan enak. Nafasku
pum semakin tersendat, hidungku beberapa kali terbenam ke bulatan kenyal dan hangat itu.
Puncak dadanya basah oleh air liurku yang meluap karena nafsu. Licin dan agak susah meraih puting
susunya yang mungil kemerahan itu. Jelas sekali kulihat proses peregangannya. Semula puting susu itu
terbenam, namun dalam sekejap saja dia keluar menonjol dan mengeras.
Nisa tahu susah mengulumnya tanpa memegang karena aku mencengkram erat leher dan pinggang gadis itu.
Tanpa menunggu waktu ia memegangi buah dadanya dan mengarahkan putingnya ke mulutku.
Aku pun mengulumnya seperti bayi yang kehausan. Mengulum dan menyedot sampai terdengar berbunyi
mendecap-decap. Kulihat gadis itu, dalam sayu matanya merasakan kenikmatan, bibirnya tersungging
senyuman dan tawa kecil.
“Gigit sedikit, Kak.” pintanya padaku.
Aku menuruti kemauannya, dengan gigiku kugigit sedikit puting susunya.
“Aih….” Jeritnya lirih sambil menggigit bibir.
Barangkali ia tengah merasakan sensasi rangsangan nikmat luar biasa di bagian itu. Kurasakan tubuhnya
melunglai menahan nikmat.
Kemudian tubuh kami saling mendekap semakin rapat. Gairah dan rangsangan nikmat menjalar dan memompa
alirah darah semakin kencang.
Secara naluriah aku menyelusuri tubuh sintal Nisa. Mulai dari leher, terus ke punggung, meremas daging
hangat di pinggul… terus ke bagian bawah. Akhirnya menyelip di antara paha. Gadis itu membuka pahanya
sedikit, mengizinkan tanganku menggerayangi daerah itu.
Dalam pelukan erat, tanganku mencoba masuk…
“ehm.. ” bagian itu terasa hangat dan basah.
Nisa menggeser pantatnya sedikit. Kedua matanya memejam sembari menggigit bibir, desah-desah halus
keluar tak tertahankan. Detak jantungku semakin kencang ketika kubayangkakn apa yang terjadi di’sana’.
Gadisku menggelinjang, nafasnya sesekali tertahan, sesekali ia seperti menerawang, apa yang dia
harapkan? Aku tahu, dia menginginkan itu, dia mendorong-dorongkan pantatnya ke depan, agar bagian itu
lebih tersentuh oleh jemariku.
Dengan penuh pengertian aku pun turun… dari leher… buah dada.. wajahku terseret ke bawah, menikmati
setiap lekuk liku tubuhnya yang hangat. Setiap sentuhan dan gesekan menimbulkan rintihan lirih dari
mulutnya. Wajahnya menengadah, matanya setengah terpejam, bibir agak terbuka, dan sedikit air liur
menetes dari salah satu sudutnya.
“Teruskan, kak… jangan hentikan..!” pintanya.
“Puaskan aku….?” katanya lagi tanpa rasa sungkan.
Yah, tak ada rahasia di antara kami. Apa yang dia inginkan untuk memuaskan hasratnya, pasti dia minta,
kapan saja kami bertemu. Begitu pula aku… kalau lagi pingin, dia pasti kasih.
Perlahan aku menyusuri tubuhnya ke bagian bawah. Sekarang aku sudah di atas perutnya yang mulus. Aku
bermain-main sebentar di sana. seluruh tubuh Nisa memang sangat menggairahkan. Tidak ada lekuk
tubuhnya yang tidak indah. Aku sangat menikmati semuanya.
Tiba-tiba Nisa memegang kepalaku, meremas sedikit rambutku dan mendorong kepalaku ke bawah.
“Ayo, Kak, udah gak tahan nih..! Jangan di situ aja dong….Aih..” Aku menurut….
Dulu aku bilang aku ingin merasakan dan menjilati kemaluannya, dia bilang hal itu menjijikkan. Dalam
keadaan terangsang dia sangat menginginkanya. Sesampai di bagian itu… aku terpana menyaksikan
pemandangan indah terbentang tepat di depan mataku.
Setumpuk daging berwarna kemerahan berkilat di celah-celahnya …Bagian itu, bibir kemaluan Nisa yang
merah dan basah dipenuhi cecairan lendir yang bening. Dengan kedua jari telunjuk ku buka celah itu
lebih lebar… Klentitnya menyembul… nampak berkedut karena rangsangan nikmat tidak terkira.
Berkali-kali ia berkedut… setiap denyutan dibarengi dengan nafas dan rintih tertahan gadis itu. Aku
memandang ke atas. Ke arah payudaranya yang terbuka, putingnya semakin mengeras. Nafasnya terengah-
engah, buah dada Nisa yang putih itu nampak naik turun dengan cepat.
Kulihat lagi kemaluan gadisku itu… semakin merah dan merekah. Kubuka lagi dengan dua telunjukku…
cairan kental pun mengalir deras. Meluap dan merembes sampai ke sela paha, persis seperti orang yang
sedang ngiler.
Cairan itu terus mengalir perlahan… sampai ke arah anus. Kemudian perlahan berkumpul dan akhirnya
menitik ke lantai. Semakin lama semakin banyak titik-titik lendir bening yang jatuh di lantai kamar
itu.
Terasa ia merenggut rambutku… dan menekankan kepalaku ke arah vaginanya yang sedang terangsang itu.
Aku pun semakin bernafsu…. Dengan penuh semangat aku pun mulai mengulum dan menjilati seluruh sudut
kemaluan Nisa…
“Ahh…. Ahhhh… nikmat sekali, Kak!” Nisa merintih,
tubuhnya menegang, cengkramannya di kepalaku semakin kuat. Pahanya mengempot menekan ke arah mukaku,
sementara kemaluannya semakin merah dan penuh dengan lendir yang sangat licin.
Aku pun semakin dalam menusuk-nusukkan lidahku ke liang senggamanya. Beberapa kali klentitnya
tersentuh oleh ujung gigiku, setiap sentuhan memberi pengaruh yang hebat.
Gadis itu melolong menahan nikmat… aku terus menyelusuri bagian terdalam vaginanya. Oh… hangat dan
sangat-sangat basah. Tak bisa kubayangkan kenikmatan apa yang dirasakannya saat ini. barangkali sama
nikmatnya dengan rangsangan yang kuperoleh dari kemaluanku yang juga sudah mengeras sedari tadi.
Rasanya sangat nikmat dan tergelitik terutama di bagian pangkal… rasanya ingin aku melepaskan nikmat
di saat itu juga. Tapi aku harus menyelesaikan permainan awal ini dulu, gadis ini minta untuk segera
di tuntaskan.
Semakin aku memainkan kemaluannya, semakin ia mengempot dan menekankan kepalaku ke arahnya. Sesekali
aku menengadah menatap wajahnya yang merah. Tampak ia menghapus air liurnya yang mengucur dengan
lidahnya yang merah itu. Tiba-tiba ia tertawa mengikik… seperti ada yang lucu. Ia mengusap wajahku
yang bergelimang cairan vaginanya. Sambil memandangku penuh pengertian.
“Lagi, Kak” pintanya.
Aku mengulangi lagi kegiatan itu, ia pun kembali merintih-rintih menahan rangsangan hebat itu di
kemaluannya. Beberapa kali klentit itu kusentuh dengan ujung gigi…. Tiba saatnya, dia sudah sampai
mendekati puncak. Nafas semakin memburu dan tubuhnya menegang hebat beberapa kali. Tanpa sungkan lagi,
ia mengeluarkan lolongan penuh kenikmatan ketika rasa enak itu tiba…
“Ohhhhh… hhhh…ahhhhhhhh…” jeritnya lepas.
“Enak sekali…”
Pantatnya mengempot ke depan setiap denyutan nikmat itu menyergap vaginanya… dan setiap denyutan
diiringi dengan keluarnya cairan yang lebih banyak lagi. Beberapa cairan itu bagaikan menyembur dari
liang senggamanya, aku mundur sebentar, melihat bagaimana bentuknya vagina yang sedang mengalami
orgasme.
Tegang, merah, basah… berkedut-kedut, cairan pun membanjir sampai ke kedua pahanya….. mengalir dengan
banyaknya sampai ke mata kaki… Aku pun tidak tahan melihat keadaan itu, cepat aku berdiri…
mengasongkan kemaluanku yang sudah tegang itu ke arahnya.
Ia memelukku, terasa tubuhnya bersimbah peluh, wajahnya yang memerah karena baru melepas nikmat itu
disusupkannya ke leherku. Memelukku semakin kuat…
“Puaskanlah dirimu, Kak!”
Aku pun mendekap tubuh sintal itu semakin erat. Rasa nikmat berkecamuk di titik kemaluanku. Terasa
semakin menegang dan mengeras…. Tapi aku ingin merasakan sensasi yang lain.
Kuturunkan kepala gadis itu ke bagian itu. Ia menurut, perlahan ia menyusuri tubuhku dari dada terus
turun ke bawah.
Seperti yang kulakukan tadi, mulutnya menciumi perutku dan terus turun… sesampai di bagian itu ia
memandangi penis yang selama ini selalu dia senangi. Ia menengadah.. memandangku dengan senyuman
nakal….
“Besar sekali punyamu, Kak! Ini untukku untuk selamanya,” katanya sambil mengelus dan mulai meremas
pangkalnya.
Aku terkesiap… jemari lembut itu mulai mengocok-ngocok kemaluanku dengan penuh cinta.
“Nikmatilah, Kak! Aku ingin kamu menikmati dan merasakan kenikmatan seperti yang aku rasakan, kamu
milikku, tidak boleh untuk orang lain….”
Aku mengangguk sambil tersenyum, perempuan kalau sudah cinta dan ingin pasti mau melakukan apa saja.
Perlahan ia mulai mengocok pengkal kemaluanku… sesekali ia mengecup bagian kepalanya yang seperti topi
baja itu. Lembut dan penuh kasih sayang. Beberapa kali pula ia menempelkannya di pipi sambil matanya
terpejam.
“Ohh.. inilah yang aku impikan selama ini. Kepunyaanku milik kekasihku yang perkasa…”
Kemudian ia meningkatkan kocokannya, kedua jemari tangan menggenggam dan meremas-remas menimbulkan
rasa geli luar biasa.
Kemaluanku semakin menegang menahan nikmat.. keras dan enak. Gadis itu sangat lihai mempermainkan
jemarinya, seolah dia turut merasakan apa yang kurasakan. Sambil terus jongkok dan menciumi pangkal
kemaluanku jemarinya terus juga digesekkannya.
Akhirny aku pun tak tahan lagi… aku merenggut rambut di kepalanya, tubuhku pun menegang. Aku mendorong
pantatku ke depan, pahaku mengejang menahan sesuatu yang bakal kukeluarkan.
“Nisa…” kataku sambil mencengkram rambutnya.
Ia menatapku, wajahnya tepat di ujung kemaluanku yang sedang dicengkeramnya. Gadis itu tersenyum
kecil…. Dia senang menatapku yang sedang dalam puncak nikmat.
Maka, sambil setengah terpejam, aku pun mengeluarkan segalanya, kemaluanku meledak dalam genggaman
tangan Nisa, menyemburkan air manikyang sangat banyak, mengenai seluruh muka gadis itu. Sebagian ada
yang menyembur dan kena ke rambutnya. Kelopak mata gadis itu berkedip menahan serangan air mani yang
mendarat di wajahnya…
“Hhhh…hhhh.hh,” perlahan nafasku mulai teratur… puncak itu sudah sampai, nikmat tak terlukiskan kata-
kata.
Nisa bangkit berdiri dan menuju pojok ruangan. Paha dan pantat mulusnya nampak gemulai ketika ia
melangkah. Gadis itu mengambil baju, mengusapkannya di wajah yang penuh cairan mani. Menoleh ke arahku
sambil tersenyum, kemudian berjalan ke arahku. Merentangkan kedua tangan, memelukku dan menempelkan
pipinya di pipiku.
“Enak ya, Kak”
Aku mengangguk, memeluk tubuh yang masih bersimbah peluh itu. Memandang matanya lekat-lekat. Ia
membalas tatapanku, “Aku sangat mencintaimu, Kak. Kaulah milikku dan milikilah aku selamanya…”
Entah berapa lama kami berpelukan sambil berdiri. Ketika angin berdesir melalui kisi-kisi jendela,
terasa semuanya sudah mengendur. Jiwa dan raga sudah terpuaskan. Sekarang waktunya merapikan pakaian,
duduk mengobrol di ruang tamu.
Sebentar lagi teman-teman kost kekasihku akan pulang. Kami akan mengobrol di ruang tamu, bercanda,
seperti tidak ada kejadian apa pun sebelumnya.
Tiba-tiba gadis itu berdiri seperti tersentak kaget. Ia memandangku sambil tersenyum kecil. Aku tak
mengerti ketika ia menunjuk dengan sudut matanya ke arah lantai. Ha ha ha… hampir lupa, cairan itu
masih berserak di lantai. Buru-buru ia pergi ke belakang dan kembali dengan secarik kain. Perlahan dia
lap lendir-lendir itu dengan kain tadi.
“Ini punyaku…” katanya sambil menunjuk setitik cairan.
“Dan ini punyamu, Kak!” hehe aku tersenyum.
“Dari mana kamu membedakan keduanya?” tanyaku sambil mengambil sebatang rokok. Seraya bangkit dan
tertawa…
“Punya perempuan dan laki-laki jelas beda. Punyaku lebih bening…”
“Tapi punyaku lebih enak kan?” kataku bercanda.
“Iya dong sayang…. ” katanya seraya menghampiriku dan mengusap wajahku penuh kasih dan sayang.
“lain kali kita masukin ya . Kak. Aku ingin lebih menikmatinya..” bisik gadis itu,
“Aku ikhlas demi Kakak…” bisiknya lagi di telingaku.
Ia melingkarkan tangannya di leherku, aku pun memeluk tubuh sintal dan bermandi peluh itu lebih erat.
Malam belum begitu larut ketika aku dan Liani sedang asyik bercinta di ruang tamu rumah kostnya. Tubuh
montok gadis itu terbaring pasrah di atas dipan sederhana yang terletak di salah satu sudut ruangan.
Sedari tadi punyaku keluar masuk menyelusuri seluruh lipatan kemaluan gadis itu.
Berkali-kali gadis itu menggeram menahan rasa. Lipatan basah dan hangat itu terasa sesekali menyempit.
Dia sungguh menikmatinya gesekan-gesekan itu, aku juga. Yang hebatnya, gadis satu ini sepertinya tidak
memerlukan foreplay.
Kami langsung melakukannya begitu saja. Cukup dengan tatapan mata, kami sudah tahu apa yang kami
inginkan, kepuasan di malam yang basah oleh rintik hujan ini.
Jam delapan malam aku ada janji dengan Nisa kekasihku untuk bertemu di rumah kost khusus putri ini.
Padahal malam ini bukan malam minggu seperti biasanya kami bertemu. Tapi dia sms aku minta ketemuan,
ada yang penting katanya. Aku paham yang penting itu apa.Cerita Sex Terbaru
Yang aku tidak mengerti ketika aku tiba di rumah kost itu, ternyata dia tidak ada. Liani teman sekost
nya yang menyambutku. Dia suruh aku masuk dan ketika kutanyakan kemana Nisa, dia bilang sedang keluar
sebentar, ada perlu dan dia pergi dengan Silvi kawan sekampungnya.
Dia bilang, kata Liani, suruh tunggu saja nggak akan lama kok. Liani, gadis lain desa yang bertubuh
tinggi semampai berkulit putih dan berambut panjang itu menyuruhku duduk.
Tak lama dia pergi ke belakang , mau bikin minum katanya. Aku manut saja seraya mengambil sebatang
rokok. Diam-diam kerhatikan tubuh gadis itu dari belakang ketika berlalu. Cukup lumayan, tinggi dan
lumayan montok.
Apalagi malam ini dia hanya menggunakan sehelai baju tidur sebatas lutut tanpa lengan. Menampakkan
gumapalan-gumpalan indah khas gadis desa yang terbiasa bekerja cukup keras.
Tak terasa aku menghela nafas sambil menyaksikan pemandangan tubuh Liani yang gemulai menuju ke ruang
belakang yang agak gelap itu.
Pantatnya lumayan besar dan berisi, sementara kedua betis tampak putih mulus dengan tumitnya yang
kemerahan. Kalau tidak ingat Nisa kekasihku, mungkin gadis ini pun sudah kupacari, tapi katanya dia
sudah punya pacar, entah siapa aku belum pernah ketemu dengan lelaki yang katanya jadi pacarnya itu.
Tak lama kemudian gadis itu kembali sambil membawa nampan dengan segelas air putih.
“Maaf, Bang, cuma ini yang aku sediakan,” katanya sambil setengah embungkuk meletakkan gelas itu di
meja di hadapanku.
Tanpa sadar belahan dada gaun tidur gadis itu agak melorot, menampakkan dua bulatan putih yang mau
tidak mau merasuk ke mataku. Kuakui tubuhnya sangat sintal. Walaupun tinggi semampai, tubuh itu tampak
padat dan berisi. Buah dadanya tampak menantang tatkala ia berdiri.
Liani mengibas-ngibaskan rambut panjangnya di depanku. Bibirnya tersenyum.
“Ada perlu apa, Bang? Kok tumben nggak malam mingguan ke sininya?” tanyanya sambil membenahi rambutnya
yang indah itu. Ia menatapku dari sudut matanya.
Gadis yang satu ini memang memanggilku dengan sebutan ‘Bang’, tidak seperti yang lain memanggilku
’Kakak’. Aduhai tubuhmu Liani sangat sintal dan lagak lagumu malam ini seperti bukan kepada orang lain
saja.
Gadis itu duduk dengan santainya di depanku sembari memegangi nampan di perutnya. Tak ada canggung
sedikit pun ketika mengangkat kedua kakinya dan membiarkan gaunnya yang selutut itu tertarik sampai ke
batas paha. Aku menelan air liur ku sendiri. Di rumah kost yang sepi ini hanya kami berdua sementara
Nisa dan Silvi entah ke mana
“Masih lama mereka kembali, Liani?” tanyaku asal saja sambil meraih gelas minumku.
Gadis itu menatapku lurus-lurus di mataku. Entah apa yang ada dalam benaknya malam ini.
“Entah.” Katanya sambil menggeliat, merentangkan tangannya, kedua pangkal lengannya terangkat ke atas
menampakkan ketiaknya yang bersih.
“Mungkin dua puluh menit atau setengah jam lagi mereka kembali. ada perlu, Bang.” Gadis itu menguap
dengan enaknya di depanku.
Kemudian ia menengadah menampakkan lehernya yang putih mulus itu. Hmm.. gadis ini agak-agak mirip
Chinese walau sebenarnya bukan. Tapi terus terang aku cukup tertarik dengan kesintalannya.
“Kenapa gitu, Bang? Bosen ya… Nggak sabar ingin cepat ketemu.”
“Tahu aja perasaan orang…” jawabku sambil tertawa kecil.
“Hmm… tahu dong. Nggak sabar pengen… ”
“Pengen apa, hayo!”
“Pengen … ‘itu’ ya… ” katanya nakal sambil terkekeh.
“Itu apa? Itu … kalau itu kamu juga punya kan?” kataku agak sembrono.
Gadis itu merapikan posisi duduknya agak cepat. Tapi kemudian dia santai lagi sambil terus menggeliat,
seolah ada kepenatan yang hendak dilepaskan dari tubuhnya itu. Dua gundukan dada itu menyembul dari
balik gaun tidurnya yang berwarna biru itu. Tampak tali behanya yang berwarna hitam.
“Ngeliatin apa sih?” katanya sambil memperbaiki tali kutang yang agak melorot di bahunya.
“Nggak.” Jawabku sekenanya.
Ku lihat ia menatapku tajam. Aku balas menatap. Wajahnya tampak memerah. Aku menahan nafas. Apa
rasanya gadis ini? apa bedanya dengan Nisa kekasihku?
Pikiran-pikiran itu berkelebat cepat begitu saja. Seolah dunia sudah jungkir balik. Tak ingat lagi
dengan Nisa, dengan Silvi temannya yang barangkali akan pulang. Aku pun bangkit, meraih tangan gadis
itu. Liani diam saja, tapi dia tersenyum sambil tertawa sedikit.
“Nggak ada waktu, Kak…” katanya pelan tapi membalas remasan tanganku.
Kuselipkan jemariku di jemarinya, dia membalas. Matanya menatapku seolah mengatakan, kalau ingin
melakukannya lakukanlah sekarang juga mumpung Nisa dan Silvi belum pulang. Dan itu tidak masalah
apakah mereka akan tahu atau tidak, aku pandai menjaga rahasia.
Bisikan-bisikan itu mengiang di telingaku semakin membuat gairahku bangkit. Apalagi jika kulihat tubuh
Liani yang montok dan dadanya yang naik turun menahan nafas yang mulai terengah.
Semakin lama remasan semakin erat. Tubuh kami semakin merapat dan terasa tubuh gadis itu memanas.
Entah oleh nafsu entah oleh hasrat yang tertahan. Tidak, aku tidak akan menyia-nyiakan kehangatan yang
disuguhkan gadis ini, meski bukan kekasihku, tapi… perselingkuhan selalu terasa nikmat.
Dia memang beberapa tahun lebih tua dari gadisku, cenderung lebih dewasa, tapi tak kusangka dia
menyimpan kehangatan dan hasrat memadu cinta yang begitu terpendam dan panasnya memancar di malam ini.
“Kak… di dipan itu aja, yuk.” Ajaknya.
Senyumannya dari wajahnya yang memerah kelihatan agak genit. Aku setuju, walau pun cuma dipan beralas
kasur tipis jadilah. Yang penting aku bisa menikmati tubuhnya malam ini.
Maka, seperti orang kesetanan sambil berpeluk erat kami melangkah ke arah dipan. Di pinggir dipan ia
melepaskan pelukanku, dan perlahan tapi pasti menurunkan gaun tidurnya.
Aku hanya bisa memandang mengagumi tubuhnya yang putih mulus dan penuh padat berisi itu. Sementara
menurunkan celana dalamnya ia memandangku sembari menatap ke arah bawah. Oh, aku belum membuka celana
panjangku, terlalu mengagumi kemolekannya
Tak lama kemudian kami sudah berpelukan hampir tanpa busana. Dia berada di bawah dalam posisi
tradisional. Siap dan menanti untuk dimasuki oleh lelaki yang bukan kekasihnya ini.
Kalau Nisa memerlukan fore play yang cukup lama sebelum terbangkitkan, dia barangkali tidak memerlukan
itu. Atau…
“Kalau malam begini… aku selalu membayangkan bersamamu, Bang”. Bisiknya di telinga, kedua tangan
melingkar erat di leherku. Pipinya menempel erat dipipiku.
“Benarkah?” jawabku sambil mencium pipi hangat itu. Liani mengangguk.
“Kadang bayanganmu begitui jelas seolah merasuki tubuhku…. Kalau begitu aku suka… emmh.. basah, Bang.”
“Oh, ya?”
“Iya… coba kamu rasakan, Bang.” Katanya sambil menggerakkan pantatnya, menggesekkan tumpukan
kemaluannya di batang penisku.
Ya, terasa hangat dan basan…
“Sebelum kamu datang, aku sudah membayangkan dirimu.. emhhmmm…”
tanpa sadar ‘dia’ pun … sudah basah… Aku mencium telinga Liani, dia seperti merinding., tubuhnya
menggelinjang karena merinding kegelian.
“Kadang…” bisiknya lagi,
“Keluar banyak sekali, sampai membasahi celanaku… sekarang juga udah begitu, Bang.”
Ya, aku rasakan itu, sangat hangat dan sangat basah. Penasaran aku menyelusupkan jemariku ke daerah
itu. Ya ampun! Sepertinya aku memasukkan tanganku ke seember lumpur yang hangat. Tak disangka, gadis
pendiam ini ternyata menyimpan bara begitu panas. Sebuah rahasia yang selama ini dia pendam…
“Masukkan punyamu, Bang!” pintanya …
“Aku udah gak tahan lagi, sedari tadi aku menahan rasa terhadapmu… jangan sia-siakan malam ini… walau
sebentar, aku akan puas….”
Gadis itu menggelinjang sekali lagi, membetulkan posisi berbaringnya dan membuka pahanya sedikit lebih
lebar agar mudah aku menggelosorkan kemaluanku ke liang senggamanya yang hangat itu.
Terasa meluncur dengan lancar memasuki kemaluan gadis itu.
Terus masuk dan membenam sambil ke celah yang paling dalam. Gadis itu mengetatkan pahanya dan
pantatnya mulai bergoyang ke kiri da ke kanan.
Tubuhnya terasa semakin memanas. Pelukannya begitu erat dan buah dadanya yang menempel menekan ke
dadaku. Dia sudah begitu bernafsu, nafsu yang di pendam lama dan ingin di lepaskan dalam pelukanku
malam ini juga.
Terus terang di menit-menit penuh cinta itu aku tidak ingat lagi dengan Nisa. Gadis ini butuh
dipuaskan. Hasrat yang sudah menyeruak tidak bisa lagi di tarik surut ke dalam. Segala rem sudah di
lepas dan kami pun melayang tanpa kendali menikmati semuanya malam ini….
Kurasa hujan di luar semakin deras. Titik air yang berjuta-juta itu seolah berlomba terjun ke bumi
menimbulkan suara gemuruh tidak henti-hentinya. Tapi gemuruh itu tak sedahsyat gemuruh nafsu kami
berdua, aku dan Liani yang tengah menikmati cinta.
Entah sudah berapa kali batang kemaluanku keluar masuk liang senggamanya. Sudah berapa kali pula dia
menggepit-gepit dan memelukku dengan erat dengan kedua tangannya. Entah berapa kali ia terengah dan
menggelinjang menggeram penuh nikmat.
“Hhhhhh… ehhhhhhh..hhhhhh….” erangnya setiap kumainkan dan kutekan pantatku ke kemaluannya. Luar
biasa, setiap tekanan ke bawah di balasnya dengan tekanan ke atas.
Kurasa sudah sepuluh menit aku mengayun pinggul di atas tubuhnya. Liang kemaluannya terasa semakin
rapat dan sangat licin, mencengkram kuat batang kemaluanku yagn menegang.
Aku kendurkan sedikit gerakanku. Mengalihkan perhatian ke tubuh bagian atas. Liani mengerti, ia
meregangkan tubuhnya menarik kepalanya ke belakang, membiarkan buah dada besar yang putih berkeringat
itu meenyeruak dari pelukanku. Buah dada gadis desa yang besar dan kenyal, tidak seperti payudara
anak-anak kota yang besar tapi loyo….
Dua gumpalan kenyal itu pun kusergap dengan mulutku. Ku lahap dan kukunyah-kunyah sepuas hati. Putting
susunya yang merah itu ku kulum dan kuhisap-hisap sambil kugigit sedikit.
Hanya sebentar saja, gadis itu menjerit tertahan….
“Ohhh.. geli, Bang!” aku terus mengulum…. Berganti ke kiri dan ke kanan, kemudian tanganku pun
meremas-remas pangkal payudara Liani dengan gemas. Sangat kenyal, hangat dan enak rasanya.
“Aku udah gak tahan lagi… Bang,” rintihnya lirih, tubuhnya semakin panas dan berkeringat, tubuhku juga
sama.
Dalam hawa malam yang cukup sejuk karena hujan itu seolah tubuh kami mengeluarkan uap. Tubuh bugil
bermandi keringat yang mengebulkan asap nafsu birahi tak tertahankan.
Setelah puas dengan buah dada kenyal itu, aku memeluk punggung gadis itu. Kurasa dia mengangkat
lututnya, menggepitnya di pantatku. Kemudian ia menurunkan kedua tangannya dan memelukku di pinggang.
“Tekan-tekan lagi, Bang.” pintanya.
Aku juga sudah pingin merasakan gesekan kemaluannyai. Sambil saling berpagut erat aku mengayunkan lagi
pantatku di atas rengakahan pahanya yang montok itu. Dia pun semakin menggepitk-gepitkan kakinya.
Sekarang kami konsentrasi ke setiap gesekan, setiap lipatan, setiap senti dari liang kemaluan Liani.
Malam ini sunguh hanya milik kami berdua. Gesekan-gesekan itu semakin lama semakin berirama. Sementara
Liani melakukan aksi yang menambah kenikmatan, ia menggepit… lalu menahan. Gepit tahan gepit tahan….
Oh tak terlukiskan enaknya bercinta dengan gadis ini.
Gesekan itu semakin intens kami lakukan. Sampai-sampai kami tak sadar kalau hujan sudah berhenti.
Malam di luar terasa hening…. Tapi di atas dipan yang berbunyi kriak-kriuk ini dua tubuh saling
memompa berpacu mengejar waktu. Takut kalau Nisa dan Silvi keburu pulang.
Aku pun mempercepat ayunanku… sehingga di malam yang menjadi sunyi ini terdengar jelas suara penisku
yang keluar masuk ke kemaluan Liani. Beradu rsa dalam limpahan cairan kemaluan Liani..
‘Crekk.. Crekk.. Crekkk. Crek…Crekkk.. Crrek….
Kejantananku naik turun menggesek lipatan-lipatan dinding kemaluan gadis itu. Bunyinya terdengar jelas
sekali di telinga kami berdua. Sesekali kutekan akan kuat, gadis itu membiarkan dan menerima tekanan
itu, menggeolkan pantatnya berkali-kali agar kelentitnya lebih tersentuh pangkal atas kemaluanku yang
keras.
“Tekan terus, Bang.. aihh…”
Aku menekan lagi sambil menggerakkan pantat ke kiri dan ke kanan. Mungkin dia merasa gatal dan ingin
gatal itu digaSilvi sampai tuntas…. PenggaSilvinya adalah batang kemaluanku yang dia cengkram dan dia
benamkan sedalam-dalamnya.
“Ohhh..ohhhhhhhhh,” lolong gadis itu melepas nikmat.
Seluruh liang senggamanya berkedut-kedut dan sembari menggepit kuat. Tubuh Liani menggelinjang dan
menegang menahan rasa enak ketika ia mengeluarkan air mani kewanitanya.
“Eughhh…hhhhh… euuughhhhh….. ahhhhh… ” rintihnya sambil menyurupkan wajahnya ke leherku, lehernya
nafasnya menderu, air liur berceceran dari bibirnya yang merah.
Saat itulah aku pun bersiap hendak keluar dan menyemburkan kenikmatan di kemaluanku. Tapi sesuatu
menyebabkan aku berhenti …Masih dalam keadaan bersetubuh dengan Liani… ada sekelebt bayangan melintas.
Aku memandang dengan ujung mataku, di lantai tampak ada dua bayangan seperti diam terpaku. Aku pun
terkejut … bayangan siapa itu?
Perlahan kulihat wajah Liani yang matanya masih setengah terpejam. Kemudian matanya perlahan terbuka…
Dia pun melihat bayangan itu dan menatap langsung ke ruang tengah. Samar-samar di bola matanya yang
hitam itu kulihat dua sosok berdiri menatap ke arah kami.
Itu bayangan Nisa dan Silvi! Silvianya sudah beberapa menit tadi mereka berdiri di sana, menatap kami
yang sedang asyik memagut cinta. Apakah mereka tadi mendengar juga.. bunyi crek…crekk.crekk.. alat
kelamin kami yang sedang berkelindan? Entahlah, aku tak berani membayangkan hal itu.
Anehnya, meski pun Liani sudah tahu kehadiran mereka, dia diam saja. Tidak memberi tanda bahwa
kekasihku dan temannya sudah pulang. Bahkan seolah membiarkan mereka menonton kami yang sedang
beradegan mesra di atas ranjang.
Terdengar bunyi deheman kecil, dehem khas suara perempuan. Seolah memaklumi kami yang masih dalam
posisi senggama ini. hmmm… aku tahu itu suara Nisa, aku bisa membedakannya.
Sedetik dua detik aku tak tahu apa yang harus kuperbuat, kemudian Liani melakukan sersuatu yang tidak
kuduga. Dia seperti melambaikan tangan dari balik punggungku. Menyuruh kedua ‘adik’ kostnya itu masuk
ke kamar…
“Teruskanlah, Bang. Nggak apa-apa, kok….” Bisiknya di telingaku.
“Ngapain malu.. kita kan sedang enak, kamu enak aku enak…. Mereka juga pasti maklum….”
Oh, ya? Bercinta dengan orang yang bukan pacar, dan dilihat oleh mereka pula? Apa pula ini?Exibit kah
ini? Ya, sudah! Aku gak sempat memikirkan sejauh itu. Kalau bagi Liani tidak apa-apa, dan Nisa serta
Silvi pun justru menikmati pemandangan ini…. kuteruskan saja.
Perlahan dua gadis itu berlalu, seperti tak terjadi apa-apa, kecuali tawa kecil Silvi yang terdengar.
Aku memandangi mereka yang pergi menjauh, tiba-tiba Nisa menoleh ke belakang. Dia menatap mataku
langsung, di bibirnya tersungging senyuman yang aneh … di situasi seperti ini… senyum yang tampak
nakal.
Aku tak tahu apa akan terjadi sesudah ini, bagaimana hubunganku dengan Nisa? Bagaimana pula aku akan
menemui mereka setelah ‘permainan’ penuh keenakan ini? Tak bisa lagi aku berlagak seperti seorang
lelaki yang setia hanya pada satu perempuan. Tapi tampaknya Nisa pun tak keberatan jika aku mengencani
kakak kostnya Liani.
Ah. Dunia ini memang aneh… di tempat yang tampaknya biasa-biasa saja ternyata tersimpan bakat-bakat
cinta yang terpendam yang menanti untuk dikeluarkan dan dinikmati setiap lelaki semacam aku. Aku tak
tahu harus bergembira atau… entahlah!
Aku meneruskan permainanku dengan Liani. Gadis itu sudah sampai ke puncak syahwatnya… kini giliran
aku. Perlahan-lahan aku mulai memompa lagi … kemaluanku naik turun menggesek kemaluan Liani yang basah
itu. Bunyi crek.. crek.. crek.. creeeek… terdengar ke segenap ruangan.
Aku agak termangu mendengar suara itu… tidakkah akan sampai ke telinga mereka berdua yang sekarang
sudah ada di kamarnya?
“Terusin aja, Bang….. Kalo enak ngapain juga di berhentiin” bisik Liani seolah hendak menghapus
keraguanku.
Maka aku pun meneruskan lagi, kali ini dengan irama yang lebih cepat dan… tak lama kemudian creett…
cretttt… sambil menekan aku keluarkan air maniku di dalam kemaluan Liani yang mencengkram erat itu. Oh
nikmatnya.
Beberapa menit telah berlalu. Sesudah menghapus keringat di dadaku Liani mengenakan pakaiannya.
Kemudian sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia merapikan rambutnya yang kusut masai. Wajahnya tampak puas.
Sangat puas telah beroleh kenikmatan yang selama ini didambakannya. Seraya membetulkan tali beha dan
menyempalkan payudara besarlnya ia berkata.
“Bang, aku masuk dulu ke dalam…. Nanti Nisa kusuruh keluar, ya!”
Aku hanya mengangguk mengiyakan, gadis itu pun bangkit dan berlalu dari hadapanku. Sementara aku duduk
termangu sambil menghisap sbatang rokok. Tak lama kemudian Nisa keluar menemuiku, kali ini tidak
memakai busana yang dikenakannya tadi, tapi sudah berganti dengan gaun tidurnya yang berwarna pink.
Bahannya yang halus menampakkan lekuk tubuhnya yang seksi. Aku menelan ludah… pasti dia bakal marah
karena kelakuan kami tadi.
Dia hanya tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. Tak tampak tanda-tanda emarahan di sana. sejenak
dia hanya diam.. kemudian tiba-tiba dia bangkit dan ‘menyerbu’ ke arahku.
Melingkarkan tangannya di leherku dan menciumiku penuh nafsu. Aneh, dia tidak marah, bahkan setelah
melihat kami bercinta seolah nafsunya bergelora ingin dipuaskan juga.
“Nisa… maafkan.. aku telah…” belum sempat kuselesaikan kalimatku dengan bernafsu dia mencari bibirku
dan menciuminya dengan garang.
Oh,… gelagapan aku dibuatnya. ceritasexterbaru.org Aku tidak tahu, apakah dia marah atau sudah terangsang…. Aku balas
ciuman itu, lidahnya terjulur dan bertemu dengan lidahku. Beberapa saat lamanya lidah kami berjalin
berkelindan seperti tak mau lepas. Dengan rakus pula dia hirup air liurku, meneguk dan menelannya.
Setelah puas giliran aku yang menghisap cairan mulut itu. Setelah itu kami melepas ciuman dan saling
memandang selama beberapa saat.
Tanpa banyak berkata-kata dia menurunkan gaunnya ke bawah, menampakkan dua gumpal buah dada yang tidak
memakai beha. Putting susunya meruncing dan tegang.
“Aku terangsang sekali melihat kalian berdua tadi…. ” katanya terengah sambil mengasongkan kedua
susunya ke arahku.
Aku pun menyambut, tangan kiriku meremas dan mulutku mengulum puting susu yang satunya. Tiba-tiba
gerakankuterhenti. Dengan wajah kaget Nisa menatapku heran. Aku lupa mematikan puntung rokok yang ku
hisap tadi. Gadis itu tersenyum dan kamipun melanjutkan permainan hangat ini. Buah dada besar montok
dan kenyal itu kukunyah sepuas hati.
Nisa mendesah keenakan. Jemarinya mencengkram kepalaku, mengusutkan rambutku. Masih dalam posisi duduk
ia mengangkang .. melepas gaunnya yang sudah setengah terbuka…. Dia pun tidak bercelana dalam sehingga
gundukan vaginanya yang tebal dan tidak berambut itu merekah di depanku.
Cairan bening meluap keluar. Mengalir di sela-sela celah kemaluannya. Di tak pedulikannya. Dibiarkan
lendir bening itu mengalir…. Bahkan dia menyuruhku untuk memegangnya… jemariku menyelusup ke liang
senggama Nisa, hangat dan sangat basah oleh cairan pelicin.
Kusentuh klentitnya yang merah dengan ujung jemariku.
“Akhh….” Nisa melolong tertahan.
“Geli, Kak!” desahnya tersentak.
Kemudian sembari memeluk leherku, dan mencium keningku dia mengajakku ke dipan tempat aku dan Liani
tadi bercinta.
Tak banyak cingcong kurengkuh dan kugendong tubuh hangatnya ke dipan itu. Di sana dia kubaringkan.
Tapi ketika aku hendak membuka celana, tiba-tiba ia mendudukkan tubuhnya yang sudah bugil itu. Aku
heran, apa yang akan dia perbuat.
“Bukalah celanamu, Kak!” katanya tak sabar sembari menarik resleting celana panjangku.
Setela memelorotkan celana dalamku, dengan sangat bernafsu ia memegangi pangkal kemaluanku yang
kembali menegang.
“Besar dan nikmat….” Seru Nisa sambil meremas-remas kemaluanku.
“Sekarang giliranku…” katanya agak keras.
Ia turun dari dipan dan berdiri di sampingku, di dorongnya dadaku ke arah dipan, menyuruhku berbaring
disana. Aku menurut. Setelah aku berbaring, Nisa pun menaikkan sebelah kakinya dan mengangkang di
atas. Perlahan dia menekuk tubuhnya dan memelukku dari atas.
“Masukkan, Kak.” Pintanya dengan nada gemas.
Ia memegang batang kelaminku itu dan memasukkannya ke dalam liang kemaluannya. Kemudian dengan agak
kasar dia menghenyakkan pantatnya ke bawah agar kemaluanku masuk lebih dalam ke tubuhnya.
“Ehhhhh…. Hhhhh” desahnya kacau seperti anak kecil yang rakus menetek di susu ibunya.
Dalam posisi di atas dia menaik turunkan pantatnya dengan cepat… oh… batang kemaluanku di cengkram dan
di gesek-gesek seperti itu. Geli rasanya.
Posisi di bawah jarang aku lakukan…. Tapi kali ini aku menerima saja, karena tadi sudah lumayan capek
meladeni Liani. Kali ini Nisa yang giat menekan-nekankan pantatnya, maksudnya supaya punyaku masuk
lebih dalam.
Sembari memelukku erat, ia terus mengempot-ngempotkan pantatnya. Bunyi crek crek crek terdengar lagi…
kali ini bahkan di tingkahi oleh jeritan-jeritan kecil yang keluar dari mulut kekasihku.
Aku terus berbaring sembari meremas-remas pantatnya yang mulai berpeluh itu. Cairan vagina terasa
terus merembes dari kemaluan Nisa. Dia sudah sangat terangsang. Liang kemaluannya sangat basah dan
panas. Sesekali ia menekan dan menahan. Seolah hendak melumat habis seluruh kemaluanku dengan
vaginanya. Terang saja aku pun semakin keenakan.
Diam beberapa saat menahan tekanan, dia pun mengendurkan dan memulai lagi gerakan naik turunnya. Aku
terus meremas-remas pantatnya. Dadanya yang kenyal itu menekan ke arah dadaku, hampir membuatku sesak
nafas. Tapi aku pasrah.. lha wong enak rasanya.
Selama sepuluh menit Nisa bergerak naik turun, nggak cape-cape kelihatannya. Tubuhnya semakin basah
oleh keringat, bahkan wajahnya sudah dipenuhi keringat sebesar-besar biji jagung. Sebagian mengalir ke
ujung hidung dan menitik menimpa wajahku. Sesekali ia mengibaskan rambutnya yang tergerai..
Aku mencoba memiringkan kepala mencoba mengurangi titikan keringat di wajahku. Pada saat itulah
kembali aku terkesiap. Di ujung ruangan, di pintu kamar Nisa, tegak sesosok tubuh perempuan menatap
kami dengan matanya yang bulat.
Mata besar milik Silvi, teman sekost Nisa. Dia menatap kami tanpa berkedip. Tangan kanannya tertangkup
di dada. Sementara yang kiri tampak meremas-remas ujung gaun tidurnya yang di atas lutut.
Ketika kami saling memandang… dalam posisi Nisa masih di atas dan asyik dengan empotan-empotannya.
Perlahan tangan kiri Silvi mengangkat ujung gaun merahnya. Terus terangkat ke atas menampakkan paha
gadisnya yang padat…
Entah sadar entah tidak gaun itu sudah sedemikian terangkat, sehingga aku bisa melihat celana dalam
yang tersingkap. Kemudian ia menarik pinggir celana dalam itu… menampakkan segumpal tumpukan daging
berbulu dengan celah merah di tengahnya.
Ujung jemari menyentuh bagian tengah celah itu. Menekannya dan memutar-mutarnya sedikit. Ya ampun…
kemudian dia menatapku.. dengan mata setengah terpejam.
Saat itulah Nisa menengadah…. Dan menyurukkan kepalanya ke leherku, memelukku kuat dan mulai mendesah
berkepanjangan. Pantatnya menekan kuat sampai seolah kemaluanku mau ditelannya sampai habis.
“Kak.. enak sekali.. ahh” terasa kemaluan Nisa berdenyut hebat, tubuhnya bergetar tak kuasa menahan
nikmat… nafasnya sangat memburu… dan.. Dia pun lunglai dalam pelukanku….
Sementara air mani gadis itu mengalir tak tertahankan, meluap dan mengalir membasahi sampai bagian
perutku.. aku peluk gadis itu di punggungnya… membiarkan ia mengendurkan syaraf setelah ia tadi sangat
tegang menikmati puncak orgasmenya.
Sampai beberapa menit kami masih berpelukan, kejantananku yang masih tegang itu masih berada di dalam
’sangkar’-nya. Nisa diam tak bergerak dalam pelukanku, sepertinya dia lupa ada sesuatu yang bersemayam
dalam tubuhnya.
Perlahan gadisku ini mengatur nafasnya yang tidak teratur. Setelah agak reda… perlahan dia bangkit dan
melepas persetubuhan kami. Lambat ia mengangkat pantatnya ke atas. Perlahan alat kelaminku itu keluar
dari vagina Nisa. Ketika sudah keluar seluruhnya…. Cairan vagina yang kental nampak melumuri batang
kemaluanku. Ketika bagian ‘kepala’-nya akan keluar terdengar seperti bunyi plastik lengket yang basah
akan di lepas..
Clep..crrrllek. Nisa tersenyum mendengar suara itu. Entah suara lipatan kemaluannya atau karena lendir
yang begitu banyak melumuri batang kemaluanku.
Ia pergi ke tengah ruangan dan memakai gaunnya kembali, rona wajahnya menampakkan kepuasan yang tiada
terkira. Sambil bernyanyi kecil, seperti baru sudah pipis, ia memebenahi rambutnya yang kusut masai.
Dan berjalan ke belakang rumah, meninggalkanku yang hendak mengenakan celana dalam ku.
Belum sempat aku memakai celana itu, tiba-tiba Nisa sudah kembali. Membawa sehelai kain sarung dan
menyuruhku mengenakannya. “Pakai ini aja, Kak!” katanya seraya mengambil celana panjang dan kolorku,
melipatnya dan merengkuhnya dalam dada. Kemudian ia pun kembali ke belakang.
Tak lama kemudian ia datang lagi, membawaku segelas minuman, kalau tadi Liani membawakanku segelas air
putih, kali ini Nisa menyuguhiku dengan teh manis. Aku segera mereguknya karena merasa kehausan,
bayangkan saja melayani dua wanita secara bergilir tanpa istarahat sama sekali. Capek donk!
Ketika aku meminumnya, alis mataku terangkat, minuman apa ini? Rasanya kok pahit banget? Sebelum
sempat bertanya Nisa berkata perlahan,
“Itu sari dari akar Pasak Jagad Kak!”
“Haa?
Kekasihku tersenyum, itu kan obat kuatnya lelaki, kalau minum jamu itu pasti bakal melek semaleman,
kataku sesudah menelan tegukan terakhir. Gadis itu hanya tertawa kecil. ‘Biar aja nggak tidur
semaleman… besok kamu kan nggak kerja, tidur aja sepuasnya di sini.
Setengah jam kemudian kami masih ngobrol di ruang tamu. Masih terbayang-bayang permainan kami berdua
barusan. Tak disangka begitu bernafsunya Nisa, sampai-sampai kuat main di atas hampir setengah jam
lamanya, sementara aku anteng aja di bawah.
Tiba-tiba Nisa bangkit…
”Kak,” katanya,
“Aku ke dalam sebentar.” Aku mengiyakan saja, kupikir dia mungkin mau sedikit merapikan dandanannya
yang agak amburadul itu.
Aku akan menghela nafas ketika terdengar dia memanggilku dari kamar.
“Sini sebentar, Kak!”
Aku pun bangkit dan berjalan menuju ke kamarnya, sebelum tiba di pintu kamarnya aku melewati kamar
Liani yang hanya dihalangi secarik kain gorden, diam-diam ku singkap tirai kamar itu. Tampak Liani
tertidur pulas, masih mengenakan gaun yang tadi, pahanya yang terbuka nampak putih dan mulus.
Kamar berikutnya adalah kamar Silvi, hmmm… jantungku berdegup agak kencang. Apa yang dilakukannya tadi
ketika aku dan Nisa sedang menikmati seks? Entahlah, aku tak tahu. Tapi aku pengen tahu sedang apa dia
sekarang?
Perlahan kusingkapkan juga tirai pintu kamarnya itu. Kasur tempat tidurnya masih tampak rapi, bantal
tersusun di tempatnya. Ke mana cewek itu? Kok nggak ada di biliknya? Sedikit heran aku terus melangkah
menuju kamar Nisa.
“Masuklah, Kak! Jangan malu-malu, aku tahu kamu sudah berada di situ.” Kata Nisa lagi, bergegas aku
pun masuk ke kamarnya…
Oh di sini rupanya Silvi, dia sedang tidur telungkup di dipan Nisa, sementara cewek ku itu sedang
menyisir rambutrnya menghadap ke cermin. Tanpa mengacuhkan aku dia pun menyuruhku duduk di dipan
dengan gerakan tangannya.
Dipan ukuran single itu lumayan sempit, apalagi sekarang sudah ada Silvi yang tidur di sana. Nisa
berbalik menghadapku, ditatapnya aku dengan tajam. Kemudian perlahan dia mengalihkan pandangannya ke
tubuh temannya yang masih telungkup itu.
“Terserah kamu, Kak. Mau di sini atau di kamarnya…. Aku ikhlas aja, yang penting…. Dia bisa juga ikut
merasakan ….”
Aku melongo? Dia suruh aku menikmati pula tubuh Silvi!? Tubuh perempuan sintal yang sedang
tertelungkup ini? Nisa mengangguk pasti.
“Kami lihat apa yang kalian lakukan, Silvi pun lihat kita tadi… kami bertiga bersahabat, resminya kamu
memang milik aku… tapi.. berbagi antar sahabat tak ada salahnya, bukan? Lagi pula aku rela kok, selama
tidak dengan yang lain selain mereka.”
Dalam hati aku cuma bisa mengangkat bahu. Kalau dia sudah mengikhlaskan temannya, dia tidak marah
apalagi jadi membenci aku, lagi pula kalau dengan begitu dia jadi terangsang dan menikmati juga, apa
salahnya.
Aku berpikir cepat, katakanlah malam ini adalah semacam sex party, dan aku menjadi rajanya sementara
menjadi ratuku yang harus kupuaskan, oke saja sih. Hehehe. Kebetulan aku ingin mencobai juga tubuh
Silvi yang berkulit sawo terang ini.
“Aku menunggu di kamarnya,” kataku kepada Nisa, cewek itu mengangguk setuju.
Dipan singel Silvi terasa cukup nyaman. Bantalan busanya masih cukup baru, dia memang belum lama kost
di rumah ini, mungkin baru setengah tahun. Aku berbaring dengan rileks. Memandangi dinding kamar yang
dipenuhi poster Nisa sambil memikirkan apa yang telah kudapat malam ini.
Mula-mula Liani menyerahkan dirinya kepadaku, kemudian Nisa yang memintaku untuk memuaskannya, dan
sekarang Silvi, gadis paling pendiam yang jarang ngobrol denganku. Gadis ini pun menginginkan ku pula…
hehehe.. dasar gede milik, yeuh
Semilir halus wangi parfum masuk ke hidungku.Terdengar pintu kamar terbuka, perlahan Silvi masuk ke
kamar itu. Seperti orang baru bangun tidur. Ia langsung duduk di dipan itu,
“Ada apa, Kak?” tanyanya seolah tak mengerti.
Aku tersenyum, pandai juga dia menyembunyikan perasaan sebenarnya.
“Eh, kain sarung siapa yang kamu pakai itu, Kak?”
“Hehe.. ini pemberian Nisa tadi..”
Kedua bola mata gadis itu membulat… menatapku seolah tak percaya. Terus terang saja, dia cantik juga.
Rambutnya yang ikal itu dibiarkannya tumbuh sampai sebatas punggung. Meski baru bangun ‘tidur’ tapi
tak mengurangi kesegaran dan pesona cantik yang terpancar di wajahnya.
Aku menarik gadis itu ke pelukanku, tubuhnya terasa berat karena ia seperti menolak, tapi kemudian
malah dia yang merangsek dalam dekapanku.
“Jangan , Kak! Nanti Nisa marah..” katanya berbasa-basi.
“Dia marah kalau aku tidak menayangimu juga….”
“Kamu bisa aja, Kak!” katanya sambil menengadah dan menyentuh pipiku.
Aku mengecup bibirnya, dia sangat menikati kecupan kecil itu, matanya terpejam, tubuhnya melunglai,
dan aku pun memeluk tubuh sintal itu lebih erat.
Ia membalas pelukanku dan membiarkan bibirnya kulumat… beberapa kali ia mengeluh nikmat. Terasa
tubuhnya bergetar ketika aku mulai merengkuhnya.
Kemudian aku pun mulai menyusuri seluruh lekuk dan liku tubuh gadis itu. Semakin lama tubuh itu terasa
panas, setiap gumpalan dan tonjolan dagingnya terasa begitu membara dipenuhi gairah terpendam.
Aku membaringkan tubuhnya sementara kedua tangannya terus melingkar di leherku. Nafasnya terdengar
agak memburu, gadis ini sudah mulai terangsang. Kuperiksa bagian kemaluannya dengan jemariku. Ternyata
belum cukup basah, masih terasa agak kering. Kucumbu dia terus supaya gairahnya lebih menggelora
Entah berapa lama kami saling mencium saling menyusup dan berkelindan, aku pulang suka buah dadanya.
Sangat kenyal, besarnya pun sedang saja, tapi putting susunya sangat kecil, hanya sebesar biji kacang
hijau. Tampak sekali putting itu sudah mengeras.
Ketika kuremas-remas buah dadanya, wajah gadis itu menengadah, matanya terpejam rapat, bibir agak
terbuka. Setiap remasan adalah rangsangan bagi tubuh segar ini. Semakin intensif aku meremas, semakin
intens juga dia menikmatinya. Ketika kuraba kemaluannya, lendir pelicin yang kental sudah mulai
keluar.
Perlahan aku mengusap-usap jembut halus yang tumbuh di sana. Sesekali agak kutekan agar menyentuh
bagian klentitnya. Tuibuhnya menggelinjang karena geli.
Perlahan tapi pasti cairan pelicin itu mulai keluar, merembes ke permukaan dan mengakibatkan jembut-
jembut halus itu terasa mulai kuyup. Hmmm.. Silvi sudah siap untuk dimasuki. Sambil memegang pangkal
kemaluanku aku pun memasukkannya. Terasa licin dan rapat. Batang kemaluanku seperti menembus lipatan
daging hangat yang basah oleh lendir.
Creep…. Masuklah aku ke tubuh Silvi. Gadis itu melepas nafas panjang, merasakan nikmatnya gesekan di
kemaluannya. Entah kenapa aku sangat-sangat terangsang dengan gadis ini, mungkin ini bukan yang
pertama baginya, tapi… dia melakukannya seperti baru untuk pertama.
Sepuluh menit pertama kami mengadu rasa, menggesek-gesekkannya dengan gerakan rutin. Sementara Silvi
pasrah saja sambil memelukku dan membenamkan wajahnya di leherku. Nafasnya semakin lama semakin
memburu, tubuhnya semakin panas. Titik-titik keringat mulai keluar dan lama-lama peluhnya semakin
membanjir.
Kota kecil ini memang lumayan panas meski di malam hari, apalagi rumah kost itu tidak berAC, tubuhku
pun kembali berkeringat. Tapi kami tak peduli, kami terus berpelukan menikmati pergumulan itu.
Kami masih bergumul ketika akhirnya memasuki tahap kedua. Kukeluar-masukkan penisku secara berirama di
liang kemaluannya yang pasrah itu. Gadis itu memelukku lebih kuat. Tak peduli dengan tubuh yang
bersimbah peluh.
‘Crekecrekecrek…’. Sepuluh menit lamanya aku menggesek-gesek kemaluan Silvi dengan kemaluanku. Terasa
punyaku semakin menegang keras. Kemudian aku menekan… Silvi membalas dengan mengempot ke atas.
Menggerakkan pinggulnya berputar-putar, ganas sekali putarannya. Aku naik turunkan lagi pantatku
beberapa kali, kemudian kutekan dalam-dalam….
“Ahhh…,” gadis itu mendesah nikmat.
Kemudian membalas lagi dengan tekanan ke atas, sambil menggoyang pantatnya ke kiri dan kekanan.
Lipatan kemaluannya yang hangat terasa semakin kenyal dan licin.
Beberapa kali kami melakukan itu, aku pun jadi tak tahan. Tapi dia belum mencapai puncak. Aku akan
membuat dia duluan merasakan kenikmatan.
Aku pun semakin aktif mengocok dan menekan memek Silvi. Tulang kemaluan kami beradu, bibir kemaluanya
yang tebal menahan tekanan itu dengan nafsu, terasa hangat dan sangat basah karena lendir mani Silvi
sudah melimpah sedari tadi.
Dua menit kemudian gadis itu melolong merasakan vaginanya berdenyut nikmat..
“Ooohhhhh….”
Aku membantunya dengan menekan semakin dalam. Silvi pun membenamkan tubuhnya ke kasur, menahan
tindihanku sambil melepas nikmat, seiring dengan mengalirnya air mani prempuan itu dengan lebih deras.
Merembes dari lipatan-lipatan kemaluannya.
“Enak sekali, Kak…eigh oh…!”
Berbarengan dengan itu akan pun mencapai puncak. Kemaluanku terasa berkedut seiring dengan
menyemburnya air maniku di liang senggama gadis itu. Sementara liang senggama Silvi pun menggepit-
gepit tak terkendali karena tak kuasa menahan nikmat yang luar biasa.
Kami masih berpelukan ketika rasa nikmat itu tercapai sudah. Gadis itu diam dalam pelukanku, tubuhnya
sangat basah oleh peluh. Hawa panas pun terasa menyergap. Berangsur kami saling melepas pelukan.
Perlahan gadis bangkit itu duduk dari posisinya. Gurat-gurat kepuasan terpancar di wajahnya yang
cantik. Sekilas ku lihat memek Silvi yang masih merah dan bibirnya tampak membengkak, cairan-cairan
lendir masih menetes dari sela kemaluannya.
“Enak, Silvi?” gadis itu mengangguk.
Kemudian ia mengusap keringat yang menitik di dadaku.
“Dadamu penuh dengan peluh, Kak. Sini kuusap,” katanya sambil mengelus lembut dadaku yang memang penuh
dengan keringat.
Beberapa saat lamanya kami kemudian berbaring bersama di kasurnya yang sempit itu. Rambutnya yang ikal
dan panjang itu kubelai. Ia bergerak, menyusupkan tangannya di leherku, kemudian memintaku terlentang,
dia ingin tidur di dadaku, katanya. Beberapa saat kemudian Silvi pun jatuh tertidur, tak menyadari air
liurnya yang menitik dari sudut bibir. Aku pun segera terbang ke alam mimpi.
Entah jam berapa kami terbangun. Ketika itu aku dan Silvi masih berpelukan, sementara di luar
terdengar suara-suara seperti sedang bernyanyi. Oh, ternyata hari sudah siang. Itu adalah suara Nisa
yang sedang bernyanyi kecil, sementara di kejauhan terdengar suara orang sedang mandi, barangkali
Liani sedang membersihkan tubuhnya.
Silvi pun sudah mulai terjaga, ia masih memelukku, buah dadanya yang kenyal itu menempel erat di
dadaku. Dari ruang tengah terdengar Nisa sepertinya sedang menyapu lantai. Sementara dari bibirnya
terdengar nyanyian yang sekarang sedang populer.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka, kemudian gorden disingkapkan, dan masuklah Nisa ke dalam
kamar, menatap kami yang masih bugil hanya berselimut kain sarung.
“Hei, bangun! Belum puas juga ya!”
Aku pura-pura tidur sambil memeluk Silvi lebih erat. Gadis itu terkikik… tapi dia juga pura-pura
meneruskan tidurnya. Nisa berlagak marah dan menarik kain sarung penutup tubuh kami.
“Apa mau diteruskan lagi tidurnya? Udah siang tauu,”
Aku menarik kain sarung itu, malu karena kemaluanku sedang menegang setelah beristirahat total
beberapa jam. Tapi kalah cepat, Nisa sudah menangkap batang kemaluanku dan mengusap-usap dengan
jemarinya.
“Oh, jauh lebih besar dari gagang sapu ini… pantesan enak sekali.” Guraunya sambil tergelak sendiri.
“Ya udah, kalau kamu pengen lagi, Silvi. Tuh mumpung lagi berdiri…”
Hampir tak kuat aku menahan tawa dengan canda Nisa, tapi tampaknya Silvi menanggapinya dengan serius,
dia menggerakkan pantatnya, memelukku dari atas dan mengempot ke bawah. Bibir kemaluannya terasa
menempel di batang kemaluanku.
“Tuuh, kan! Pasti mau lagi deh! Terusin aja, Silvi. Enak kok!” sergah Nisa sambil memegangi pinggang
gadis itu, menolongnya mengangkat panta, aku pun memegang pangkal kemaluanku,
menghadapkannya ke memek Silvi yang hangat.
“Udah pas belum?” tanya Nisa, Silvi mengangguk, perlahan Silvi menurunkan pantatnya, maka….
Srrluuuup.. batang kemaluanku masuk lagi ke memek Silvi.
“Main dari atas enak, lho Silvi! Tekan aja biar lebih kerasa…” bisik Nisa agak keras.
Seperti tak peduli kehadiran Nisa di kamar ini, kami mengulangi permainan semalam, tapi kali ini
Posisi Silvi ada di atas. Kusuruh gadis itu menegakkan tubuhnya. Ia menurut dan mendorong tubuhnya
dengan meletakkan telapak tangannya di dadaku.
Sekarang posisinya berubah, aku berbaring sementara Silvi duduk mengangkang di atasku. Alat kelamin
kami telah menyatu, ketika ia sudah duduk dengan benar, nampak memeknya seperti sedang mengulum
kemaluanku sampai ke pangkalnya. Kelentitnya nampak menonjol dan cairan itu kembali mengalir membasahi
jembut-jembut halusnya.
Kami saling pandang sementara masih bersatu, bibir Silvi tersenyum, beberapa kali ia menyibakkan
rambutnya yang kusut. Perlahan dia mulai mengayun, gerakanya seperti orang sedang naik kuda. Naik
turun berirama.
Semenit aku lupa dengan kehadiran Nisa di sana. ternyata ia berdiri di belakang Silvi, memperhatikan
kami yang sedang bercinta dengan gaya seperti itu. Gadis itu menyeringai lebar menampakkan sederetan
giginya yang putih bersih.
Kemudian tiba-tiba ia membuka bajunya, menampakkan beha putih dengan buah dada besar di baliknya. Ia
pun membuka beha itu, melemparkannya ke sudut kamar, menarik rok panjang, membuka celana dalam sampai
akhirnya bugil sama sekali.
Ia pun menyerbu ke arahku, membenamkan wajahku di susunya yang besar dan kenyal, meremas-remas
kepalaku dengan jemarinya. Sementara Silvi terus asyik mengayun-ayunkan pantatnya naik turun.
Aku memeluk punggung Nisa, mengulum dan mengunyah susunya yang kenyal. Cewek itu mendengus-dengus
ketika putting susunya tergigit lembut.
Lama kami bercinta segitiga seperti itu, mungkin ada seperempat jam.
“Kita enak-enakan bareng, Kak.” Bisik Nisa sambil meremas.
Aku setuju, dia sudah hampir sampai puncak, aku pun tak tahan dengan ulah Silvi, yang mengocok-ngocok
dari atas….
Nisa melepas pelukannya dan naik ke atas ranjang, mendudukkan pantatnya di dadaku mengangkang lebar
menampakkan memeknya yang tercukur rapi. Gundukan dagingnya putih mulus dan kemerahan, bibir
kemaluannya tebal dan dipenuhi cairan kental dan hangat.
Ia memajukan memeknya sehingga sampai di mulutku. Kemudian mulai menekan ke arah mukaku.
“Ahh… ayo Kak! Aku udah gak tahan lagi nih.”
Sambil meremas pinggang dan pantatnya aku pun beraksi. Mengganyang habis kue pie lembut dan basah itu.
Nisa segera merintih-rintih ingin segera melepas nikmat. Sementar di belakangnya Silvi tiba-tiba
mengempot dan menekan ke bawah,. Tubuhnya ambSilvi ke depan, menimpa punggung Nisa yang sedang menekan
mukaku.
Wajahku semakin tertekan oleh gumpalan memek Nisa, sementara pahanya menggepit kedua pipiku dengan
kuatnya. Akkkh… aku hampir tidak bisa bernapas. Ya ampun!
“Keluarin bareng, Kak! Aghhh.. ahhh!”
Nisa menekan, Silvi mengempot, dan… aku sesak nafas!
Terdengar suara rintihan panjang berbarengan, Nisa dan Silvi sedang dirasuki kenikmatan. Terasa memek
Silvi berdenyut-denyut sembari melepaskan cairan kewanitaannya, sementara mulutku semakin basah oleh
cairan memek Nisa yang juga berdenyut melepas nikmat.
Kedua tubuh cewek itu lunglai setelah menikmati segalanya. Mereka ambruk berbarengan ke tubuhku. Berat
sekali rasanya menahan dua tubuh perempuan sekaligus, montok-montok lagi.
Seperti menyadari hal itu, Nisa dan Silvi pun bangkit, perlahan Nisa turun dari ranjang, sementara
Silvi pun perlahan mengangkat pahanya, kedua tangan bertumpu pada dadaku.
Saat itulah kemaluanku keluar dari liang sanggamanya, cleep.. terdengar seperti bunyi plastik lengket
yang sedang dibuka. Tampak kemaluanku masih menegang dan basah bergelimang cairan memek Silvi.
Aku terdiam sejenak, tak tahu harus berbuat apa, karena aku belum lagi mencapai puncak gadis-gadis ini
sudah menghentikan permainnya, ketika itulah tiba-tiba Liani masuk ke dalam kamar, melihat kepada
Silvi dan Nisa yang sedang mengenakan pakaiannya kembali.
Ketika ia mengalihkan pandangannya ke arahku, matanya terpaku menatap kejantananku yang masih berdiri
dengan perkasa, merah dan mengkilat bermandikan cairan kemaluan Silvi.
“Kasihkan sama Liani, Kak!” kata Nisa sambil menyempalkan susunya yang montok itu ke balik beha.
Wajah Liani semburat memerah. Mungkin dia tadi mendengar lolongan Nisa dan Silvi yang berbarengan
menahan geli dan enak. Aku tak tahu apakah dia juga sudah terangsang dan ingin di gelitik nikmat lagi?
Tampaknya iya, ia mengangkat roknya menampakkan kedua paha yang padat dan putih mulus. Sementara Silvi
dan Nisa bergegas keluar kamar, meninggalkan kami berdua saja di sana. semerbak wangi harum tubuh
Liasni menusuk hidungku. Gadis ini baru selesai mandi.
Liani naik ke ranjang bersiap-siap hendak memasukkan kejantananku ke memeknya yang, ya ampun, ternyata
sudah bengkak merekah merah dan basah pula. Tapi siapa tahan menahan tubuhnya yang tinggi montok itu
setelah tadi ditindih oleh dua gadis montok sekaligus.
Aku bangkit duduk, mendorong sedikit tubuh Liani, gadis itu seperti kaget. Tapi dia menurut. Kemudian
kusuruh ia berdiri dan … ini dia aku ingin merasakan sesuatu yang lain.
Kusuruh ia berdiri membelakangiku dan menumpukan tangannya di dipan. Posisinya sekarang menungging di
depanku, Liani mengerti, ia mengangkat pantatnya lagi, dari belakang disela-sela bongkahan pantatnya,
nampak kemaluannya membelah. Cairan kental menitik-nitik banyak sekali.
Meski nafasnya ditahan, aku tahu gemuruh di dadanya sudah sedemikian hebat. Tampak dari buah dadanya
yang menggelantung itu bergetar-getar menahan dentaman jantungnya yang meningkat dahsyat.
Aku ingin masuk dari belakang dan kemaluan Liani sudah siap untuk kutusuk dari arah itu. Liani semakin
menunggit menampakkan bongkahan pantat dan memek yang merekah. Aku maju menyorongkan kejantananku ke
arah belahan nikmat itu. Creepp.. kejantanankupun coba menerobos dan berusaha keras memasuki liang
senggama Liani yang terbuka. Tapi gumpalan pantat Liani cukup menahan gerakananku.
Egghh.. aku mencoba lagi dan menekan lebih kuat ke depan. Akhirnya… masuk juga. Oh, rasanya seperti
dipilin-pilin. Aku menekan lagi… kemaluan kami semakin berjalin, tapi bongkahan pantat Liani seolah
menahan gerakanku sehingga aku harus menekan agak lebih kuat.
“Emhh….” rintih Liani tertahan. “Tekan , Bang…. Emmghhh”
Aku bergerak maju mundur dan menekan-nekan, sekujur batang kemaluanku rasanya seperti dicengkram.
Sambil agak membungkuk aku mencoba meraih buah dada Liani, meremas keduanya dari belakang.
Hangat besar dan sangat kenyal. Putingnya kuputar-putar dengan dua ujung jari. Membuat gadis itu
menggelinjang hebat dan semakin mengangkat pantatnya tinggi-tinggi agar kejantananku masuk lebih
dalam.
Tubuh kami semakin berkeringat ketika rasa enak itu semakin memuncak. Aku pun menekan dan menggosok-
gosok lagi dinding memek Liani yang merapat.
Agak sulit main dari belakang, tapi kami menikmatinya. Beberapa manit kami menikmati permainan itu.
Tubuh Liani maju mundur tertekan oleh gerakan tubuhku.
Ketika sedang asyik tiba-tiba gorden kamar kembali terkuak. Sosok tubuh Silvi masuk berkelebat,
seperti tak memperhatikan kami gadis itu menuju ke ujung dipan, ternyata celana dalamnya ketinggalan
di sana.
Kami tak mempedulikan kehadirannya dan terus saling menekan. Aku menekan ke depan sementara Liani
menekan ke belakang. Kemaluan kami sudah begitu menyatu erat bermandikan cairan kental. Tubuh kami pun
menegang dan basah oleh keringat yang membanjir. Rasa nikmat semakin meningkat, semakin lama semakin
hebat.
“Aghhh…hhhh” aku menggeram menahan rasa.
Denyutan-denyutan penuh rasa nikmat menyerang kemaluanku. Liani merintih tak kalah dahsyat… bahkan
lebih hebat dari erangan Nisa dan Silvi berbarengan.
“Bang… agh! Enak banget,…oh Aku gak tahan lagi!
Samar kulihat Silvi mengenakan celana dalamnya…. Ketika itu pula aku dan Liani saling menekan hebat…
menahannya dan merasakan detik-detik penuh kenikmatan. Nafas Liani melenguh-lenguh, keringat
bercucuran dari sekujur tubuhnya. Memeknya menyempit dan … srrr….. keluar banjir yang hebat. Tubuhnya
bergetar menahan rasa geli yang luar biasa. Aku pun menekan semakin dalam.
“Mmhhh…” berkali-kali kemaluanku seperti meledak dalam cengkraman memek Liani.
Berkali-kali pula lipatan kemaluan gadis itu menyempit dan menggenggam kemaluanku kuat-kuat ketika ia
pun melepas nikmat di pagi nan cerah itu.
Silvi mendehem kecil ketika kami menyudahi permainan itu dengan rasa puas. Liani menjatuhkan tubuhnya
yang basah oleh titik keringat di dipan, menelentang dengan nafas masih terengah-engah. Bibir
kemaluannya nampak membengkak, merah dan berkilat penuh dengan lendir. Silvi pun diam-diam keluar dari
kamar, di dekat pintu ia menyibakkan rambut ikalnya, menjeling ke arahku, setelah itu ia pun berlalu.-
Terimakasih Atas Kunjungan Anda.Jangan Lupa Selalu Berkunjung Kembali
supaya tidak ketinggalan Cerita cerita Dewasa Terbaru.
Jika Kamu Menyukai Postingan Ini, Share Ke Teman-Temanmu Di Facebook ya Pulsker!
CERITA SEX DEWASA | CERITA SEX TERBARU | CERITA SEX HOT | NONTON BOKEP
www.LayarLendir.com |
Majalah Bokep - Setengah busana yang masih di pakai oleh Nisa denga posisi kedua tangannya memeleuk lututnya, terlihat
kedua paha yang putih dan mulus terpampang terlihat juga memek yang tersemat dari bulu bulu kecilnya
yang nampak baru di cukur.
Dengan nada yang beringas dan tatapan yang ingin dia berbisik di kupingku “Masukkkkanlah juga kak, aku
juga ingin merasakan kenikmatan tersebut”??
Tapi aku hanya diam dengan isyarat tubuhku dia sudah memahami kami sudah membuka pakaian bagian bawah,
tak selang beberapa lama aku dan Nisa bergelut di pojokan dengan penuh nafsu aku mainkan memeknya, dia
membalas dengan tangannya mendorong ke dalam agar cepat bersetubuh.
Tubuhnya terasa panas dan membara oleh gairah, bertubi-tubi kuciumi leher, pundak dan buah dadanya
yang kenyal dan besar itu. Ia hanya melenguh-lenguh melepas nafasnya yang menderu. Setiap remasan dan
kuluman… diiringi dengan erangan penuh kenikmatan.
Tanpa kusuruh ia membuka sebagian kancing bajunya. Menampakkan onggokan buah dada yang membulat dan
putih. Tanpa membuka tali beha ia mengeluarkan buah dadanya itu dan mengasongkannya ke mulutku.
Dengan rakus kukulum buah dada besar Nisa sepenuh mulutku. Ia mengerang antara sakit dan enak. Nafasku
pum semakin tersendat, hidungku beberapa kali terbenam ke bulatan kenyal dan hangat itu.
Puncak dadanya basah oleh air liurku yang meluap karena nafsu. Licin dan agak susah meraih puting
susunya yang mungil kemerahan itu. Jelas sekali kulihat proses peregangannya. Semula puting susu itu
terbenam, namun dalam sekejap saja dia keluar menonjol dan mengeras.
Nisa tahu susah mengulumnya tanpa memegang karena aku mencengkram erat leher dan pinggang gadis itu.
Tanpa menunggu waktu ia memegangi buah dadanya dan mengarahkan putingnya ke mulutku.
Aku pun mengulumnya seperti bayi yang kehausan. Mengulum dan menyedot sampai terdengar berbunyi
mendecap-decap. Kulihat gadis itu, dalam sayu matanya merasakan kenikmatan, bibirnya tersungging
senyuman dan tawa kecil.
“Gigit sedikit, Kak.” pintanya padaku.
Aku menuruti kemauannya, dengan gigiku kugigit sedikit puting susunya.
“Aih….” Jeritnya lirih sambil menggigit bibir.
Barangkali ia tengah merasakan sensasi rangsangan nikmat luar biasa di bagian itu. Kurasakan tubuhnya
melunglai menahan nikmat.
Kemudian tubuh kami saling mendekap semakin rapat. Gairah dan rangsangan nikmat menjalar dan memompa
alirah darah semakin kencang.
Secara naluriah aku menyelusuri tubuh sintal Nisa. Mulai dari leher, terus ke punggung, meremas daging
hangat di pinggul… terus ke bagian bawah. Akhirnya menyelip di antara paha. Gadis itu membuka pahanya
sedikit, mengizinkan tanganku menggerayangi daerah itu.
Dalam pelukan erat, tanganku mencoba masuk…
“ehm.. ” bagian itu terasa hangat dan basah.
Nisa menggeser pantatnya sedikit. Kedua matanya memejam sembari menggigit bibir, desah-desah halus
keluar tak tertahankan. Detak jantungku semakin kencang ketika kubayangkakn apa yang terjadi di’sana’.
Gadisku menggelinjang, nafasnya sesekali tertahan, sesekali ia seperti menerawang, apa yang dia
harapkan? Aku tahu, dia menginginkan itu, dia mendorong-dorongkan pantatnya ke depan, agar bagian itu
lebih tersentuh oleh jemariku.
Dengan penuh pengertian aku pun turun… dari leher… buah dada.. wajahku terseret ke bawah, menikmati
setiap lekuk liku tubuhnya yang hangat. Setiap sentuhan dan gesekan menimbulkan rintihan lirih dari
mulutnya. Wajahnya menengadah, matanya setengah terpejam, bibir agak terbuka, dan sedikit air liur
menetes dari salah satu sudutnya.
“Teruskan, kak… jangan hentikan..!” pintanya.
“Puaskan aku….?” katanya lagi tanpa rasa sungkan.
Yah, tak ada rahasia di antara kami. Apa yang dia inginkan untuk memuaskan hasratnya, pasti dia minta,
kapan saja kami bertemu. Begitu pula aku… kalau lagi pingin, dia pasti kasih.
Perlahan aku menyusuri tubuhnya ke bagian bawah. Sekarang aku sudah di atas perutnya yang mulus. Aku
bermain-main sebentar di sana. seluruh tubuh Nisa memang sangat menggairahkan. Tidak ada lekuk
tubuhnya yang tidak indah. Aku sangat menikmati semuanya.
Tiba-tiba Nisa memegang kepalaku, meremas sedikit rambutku dan mendorong kepalaku ke bawah.
“Ayo, Kak, udah gak tahan nih..! Jangan di situ aja dong….Aih..” Aku menurut….
Dulu aku bilang aku ingin merasakan dan menjilati kemaluannya, dia bilang hal itu menjijikkan. Dalam
keadaan terangsang dia sangat menginginkanya. Sesampai di bagian itu… aku terpana menyaksikan
pemandangan indah terbentang tepat di depan mataku.
Setumpuk daging berwarna kemerahan berkilat di celah-celahnya …Bagian itu, bibir kemaluan Nisa yang
merah dan basah dipenuhi cecairan lendir yang bening. Dengan kedua jari telunjuk ku buka celah itu
lebih lebar… Klentitnya menyembul… nampak berkedut karena rangsangan nikmat tidak terkira.
Berkali-kali ia berkedut… setiap denyutan dibarengi dengan nafas dan rintih tertahan gadis itu. Aku
memandang ke atas. Ke arah payudaranya yang terbuka, putingnya semakin mengeras. Nafasnya terengah-
engah, buah dada Nisa yang putih itu nampak naik turun dengan cepat.
Kulihat lagi kemaluan gadisku itu… semakin merah dan merekah. Kubuka lagi dengan dua telunjukku…
cairan kental pun mengalir deras. Meluap dan merembes sampai ke sela paha, persis seperti orang yang
sedang ngiler.
Cairan itu terus mengalir perlahan… sampai ke arah anus. Kemudian perlahan berkumpul dan akhirnya
menitik ke lantai. Semakin lama semakin banyak titik-titik lendir bening yang jatuh di lantai kamar
itu.
Terasa ia merenggut rambutku… dan menekankan kepalaku ke arah vaginanya yang sedang terangsang itu.
Aku pun semakin bernafsu…. Dengan penuh semangat aku pun mulai mengulum dan menjilati seluruh sudut
kemaluan Nisa…
“Ahh…. Ahhhh… nikmat sekali, Kak!” Nisa merintih,
tubuhnya menegang, cengkramannya di kepalaku semakin kuat. Pahanya mengempot menekan ke arah mukaku,
sementara kemaluannya semakin merah dan penuh dengan lendir yang sangat licin.
Aku pun semakin dalam menusuk-nusukkan lidahku ke liang senggamanya. Beberapa kali klentitnya
tersentuh oleh ujung gigiku, setiap sentuhan memberi pengaruh yang hebat.
Gadis itu melolong menahan nikmat… aku terus menyelusuri bagian terdalam vaginanya. Oh… hangat dan
sangat-sangat basah. Tak bisa kubayangkan kenikmatan apa yang dirasakannya saat ini. barangkali sama
nikmatnya dengan rangsangan yang kuperoleh dari kemaluanku yang juga sudah mengeras sedari tadi.
Rasanya sangat nikmat dan tergelitik terutama di bagian pangkal… rasanya ingin aku melepaskan nikmat
di saat itu juga. Tapi aku harus menyelesaikan permainan awal ini dulu, gadis ini minta untuk segera
di tuntaskan.
Semakin aku memainkan kemaluannya, semakin ia mengempot dan menekankan kepalaku ke arahnya. Sesekali
aku menengadah menatap wajahnya yang merah. Tampak ia menghapus air liurnya yang mengucur dengan
lidahnya yang merah itu. Tiba-tiba ia tertawa mengikik… seperti ada yang lucu. Ia mengusap wajahku
yang bergelimang cairan vaginanya. Sambil memandangku penuh pengertian.
“Lagi, Kak” pintanya.
Aku mengulangi lagi kegiatan itu, ia pun kembali merintih-rintih menahan rangsangan hebat itu di
kemaluannya. Beberapa kali klentit itu kusentuh dengan ujung gigi…. Tiba saatnya, dia sudah sampai
mendekati puncak. Nafas semakin memburu dan tubuhnya menegang hebat beberapa kali. Tanpa sungkan lagi,
ia mengeluarkan lolongan penuh kenikmatan ketika rasa enak itu tiba…
“Ohhhhh… hhhh…ahhhhhhhh…” jeritnya lepas.
“Enak sekali…”
Pantatnya mengempot ke depan setiap denyutan nikmat itu menyergap vaginanya… dan setiap denyutan
diiringi dengan keluarnya cairan yang lebih banyak lagi. Beberapa cairan itu bagaikan menyembur dari
liang senggamanya, aku mundur sebentar, melihat bagaimana bentuknya vagina yang sedang mengalami
orgasme.
Tegang, merah, basah… berkedut-kedut, cairan pun membanjir sampai ke kedua pahanya….. mengalir dengan
banyaknya sampai ke mata kaki… Aku pun tidak tahan melihat keadaan itu, cepat aku berdiri…
mengasongkan kemaluanku yang sudah tegang itu ke arahnya.
Ia memelukku, terasa tubuhnya bersimbah peluh, wajahnya yang memerah karena baru melepas nikmat itu
disusupkannya ke leherku. Memelukku semakin kuat…
“Puaskanlah dirimu, Kak!”
Aku pun mendekap tubuh sintal itu semakin erat. Rasa nikmat berkecamuk di titik kemaluanku. Terasa
semakin menegang dan mengeras…. Tapi aku ingin merasakan sensasi yang lain.
Kuturunkan kepala gadis itu ke bagian itu. Ia menurut, perlahan ia menyusuri tubuhku dari dada terus
turun ke bawah.
Seperti yang kulakukan tadi, mulutnya menciumi perutku dan terus turun… sesampai di bagian itu ia
memandangi penis yang selama ini selalu dia senangi. Ia menengadah.. memandangku dengan senyuman
nakal….
“Besar sekali punyamu, Kak! Ini untukku untuk selamanya,” katanya sambil mengelus dan mulai meremas
pangkalnya.
Aku terkesiap… jemari lembut itu mulai mengocok-ngocok kemaluanku dengan penuh cinta.
“Nikmatilah, Kak! Aku ingin kamu menikmati dan merasakan kenikmatan seperti yang aku rasakan, kamu
milikku, tidak boleh untuk orang lain….”
Aku mengangguk sambil tersenyum, perempuan kalau sudah cinta dan ingin pasti mau melakukan apa saja.
Perlahan ia mulai mengocok pengkal kemaluanku… sesekali ia mengecup bagian kepalanya yang seperti topi
baja itu. Lembut dan penuh kasih sayang. Beberapa kali pula ia menempelkannya di pipi sambil matanya
terpejam.
“Ohh.. inilah yang aku impikan selama ini. Kepunyaanku milik kekasihku yang perkasa…”
Kemudian ia meningkatkan kocokannya, kedua jemari tangan menggenggam dan meremas-remas menimbulkan
rasa geli luar biasa.
Kemaluanku semakin menegang menahan nikmat.. keras dan enak. Gadis itu sangat lihai mempermainkan
jemarinya, seolah dia turut merasakan apa yang kurasakan. Sambil terus jongkok dan menciumi pangkal
kemaluanku jemarinya terus juga digesekkannya.
Akhirny aku pun tak tahan lagi… aku merenggut rambut di kepalanya, tubuhku pun menegang. Aku mendorong
pantatku ke depan, pahaku mengejang menahan sesuatu yang bakal kukeluarkan.
“Nisa…” kataku sambil mencengkram rambutnya.
Ia menatapku, wajahnya tepat di ujung kemaluanku yang sedang dicengkeramnya. Gadis itu tersenyum
kecil…. Dia senang menatapku yang sedang dalam puncak nikmat.
Maka, sambil setengah terpejam, aku pun mengeluarkan segalanya, kemaluanku meledak dalam genggaman
tangan Nisa, menyemburkan air manikyang sangat banyak, mengenai seluruh muka gadis itu. Sebagian ada
yang menyembur dan kena ke rambutnya. Kelopak mata gadis itu berkedip menahan serangan air mani yang
mendarat di wajahnya…
“Hhhh…hhhh.hh,” perlahan nafasku mulai teratur… puncak itu sudah sampai, nikmat tak terlukiskan kata-
kata.
Nisa bangkit berdiri dan menuju pojok ruangan. Paha dan pantat mulusnya nampak gemulai ketika ia
melangkah. Gadis itu mengambil baju, mengusapkannya di wajah yang penuh cairan mani. Menoleh ke arahku
sambil tersenyum, kemudian berjalan ke arahku. Merentangkan kedua tangan, memelukku dan menempelkan
pipinya di pipiku.
“Enak ya, Kak”
Aku mengangguk, memeluk tubuh yang masih bersimbah peluh itu. Memandang matanya lekat-lekat. Ia
membalas tatapanku, “Aku sangat mencintaimu, Kak. Kaulah milikku dan milikilah aku selamanya…”
Entah berapa lama kami berpelukan sambil berdiri. Ketika angin berdesir melalui kisi-kisi jendela,
terasa semuanya sudah mengendur. Jiwa dan raga sudah terpuaskan. Sekarang waktunya merapikan pakaian,
duduk mengobrol di ruang tamu.
Sebentar lagi teman-teman kost kekasihku akan pulang. Kami akan mengobrol di ruang tamu, bercanda,
seperti tidak ada kejadian apa pun sebelumnya.
Tiba-tiba gadis itu berdiri seperti tersentak kaget. Ia memandangku sambil tersenyum kecil. Aku tak
mengerti ketika ia menunjuk dengan sudut matanya ke arah lantai. Ha ha ha… hampir lupa, cairan itu
masih berserak di lantai. Buru-buru ia pergi ke belakang dan kembali dengan secarik kain. Perlahan dia
lap lendir-lendir itu dengan kain tadi.
“Ini punyaku…” katanya sambil menunjuk setitik cairan.
“Dan ini punyamu, Kak!” hehe aku tersenyum.
“Dari mana kamu membedakan keduanya?” tanyaku sambil mengambil sebatang rokok. Seraya bangkit dan
tertawa…
“Punya perempuan dan laki-laki jelas beda. Punyaku lebih bening…”
“Tapi punyaku lebih enak kan?” kataku bercanda.
“Iya dong sayang…. ” katanya seraya menghampiriku dan mengusap wajahku penuh kasih dan sayang.
“lain kali kita masukin ya . Kak. Aku ingin lebih menikmatinya..” bisik gadis itu,
“Aku ikhlas demi Kakak…” bisiknya lagi di telingaku.
Ia melingkarkan tangannya di leherku, aku pun memeluk tubuh sintal dan bermandi peluh itu lebih erat.
Malam belum begitu larut ketika aku dan Liani sedang asyik bercinta di ruang tamu rumah kostnya. Tubuh
montok gadis itu terbaring pasrah di atas dipan sederhana yang terletak di salah satu sudut ruangan.
Sedari tadi punyaku keluar masuk menyelusuri seluruh lipatan kemaluan gadis itu.
Berkali-kali gadis itu menggeram menahan rasa. Lipatan basah dan hangat itu terasa sesekali menyempit.
Dia sungguh menikmatinya gesekan-gesekan itu, aku juga. Yang hebatnya, gadis satu ini sepertinya tidak
memerlukan foreplay.
Kami langsung melakukannya begitu saja. Cukup dengan tatapan mata, kami sudah tahu apa yang kami
inginkan, kepuasan di malam yang basah oleh rintik hujan ini.
Jam delapan malam aku ada janji dengan Nisa kekasihku untuk bertemu di rumah kost khusus putri ini.
Padahal malam ini bukan malam minggu seperti biasanya kami bertemu. Tapi dia sms aku minta ketemuan,
ada yang penting katanya. Aku paham yang penting itu apa.Cerita Sex Terbaru
Yang aku tidak mengerti ketika aku tiba di rumah kost itu, ternyata dia tidak ada. Liani teman sekost
nya yang menyambutku. Dia suruh aku masuk dan ketika kutanyakan kemana Nisa, dia bilang sedang keluar
sebentar, ada perlu dan dia pergi dengan Silvi kawan sekampungnya.
Dia bilang, kata Liani, suruh tunggu saja nggak akan lama kok. Liani, gadis lain desa yang bertubuh
tinggi semampai berkulit putih dan berambut panjang itu menyuruhku duduk.
Tak lama dia pergi ke belakang , mau bikin minum katanya. Aku manut saja seraya mengambil sebatang
rokok. Diam-diam kerhatikan tubuh gadis itu dari belakang ketika berlalu. Cukup lumayan, tinggi dan
lumayan montok.
Apalagi malam ini dia hanya menggunakan sehelai baju tidur sebatas lutut tanpa lengan. Menampakkan
gumapalan-gumpalan indah khas gadis desa yang terbiasa bekerja cukup keras.
Tak terasa aku menghela nafas sambil menyaksikan pemandangan tubuh Liani yang gemulai menuju ke ruang
belakang yang agak gelap itu.
Pantatnya lumayan besar dan berisi, sementara kedua betis tampak putih mulus dengan tumitnya yang
kemerahan. Kalau tidak ingat Nisa kekasihku, mungkin gadis ini pun sudah kupacari, tapi katanya dia
sudah punya pacar, entah siapa aku belum pernah ketemu dengan lelaki yang katanya jadi pacarnya itu.
Tak lama kemudian gadis itu kembali sambil membawa nampan dengan segelas air putih.
“Maaf, Bang, cuma ini yang aku sediakan,” katanya sambil setengah embungkuk meletakkan gelas itu di
meja di hadapanku.
Tanpa sadar belahan dada gaun tidur gadis itu agak melorot, menampakkan dua bulatan putih yang mau
tidak mau merasuk ke mataku. Kuakui tubuhnya sangat sintal. Walaupun tinggi semampai, tubuh itu tampak
padat dan berisi. Buah dadanya tampak menantang tatkala ia berdiri.
Liani mengibas-ngibaskan rambut panjangnya di depanku. Bibirnya tersenyum.
“Ada perlu apa, Bang? Kok tumben nggak malam mingguan ke sininya?” tanyanya sambil membenahi rambutnya
yang indah itu. Ia menatapku dari sudut matanya.
Gadis yang satu ini memang memanggilku dengan sebutan ‘Bang’, tidak seperti yang lain memanggilku
’Kakak’. Aduhai tubuhmu Liani sangat sintal dan lagak lagumu malam ini seperti bukan kepada orang lain
saja.
Gadis itu duduk dengan santainya di depanku sembari memegangi nampan di perutnya. Tak ada canggung
sedikit pun ketika mengangkat kedua kakinya dan membiarkan gaunnya yang selutut itu tertarik sampai ke
batas paha. Aku menelan air liur ku sendiri. Di rumah kost yang sepi ini hanya kami berdua sementara
Nisa dan Silvi entah ke mana
“Masih lama mereka kembali, Liani?” tanyaku asal saja sambil meraih gelas minumku.
Gadis itu menatapku lurus-lurus di mataku. Entah apa yang ada dalam benaknya malam ini.
“Entah.” Katanya sambil menggeliat, merentangkan tangannya, kedua pangkal lengannya terangkat ke atas
menampakkan ketiaknya yang bersih.
“Mungkin dua puluh menit atau setengah jam lagi mereka kembali. ada perlu, Bang.” Gadis itu menguap
dengan enaknya di depanku.
Kemudian ia menengadah menampakkan lehernya yang putih mulus itu. Hmm.. gadis ini agak-agak mirip
Chinese walau sebenarnya bukan. Tapi terus terang aku cukup tertarik dengan kesintalannya.
“Kenapa gitu, Bang? Bosen ya… Nggak sabar ingin cepat ketemu.”
“Tahu aja perasaan orang…” jawabku sambil tertawa kecil.
“Hmm… tahu dong. Nggak sabar pengen… ”
“Pengen apa, hayo!”
“Pengen … ‘itu’ ya… ” katanya nakal sambil terkekeh.
“Itu apa? Itu … kalau itu kamu juga punya kan?” kataku agak sembrono.
Gadis itu merapikan posisi duduknya agak cepat. Tapi kemudian dia santai lagi sambil terus menggeliat,
seolah ada kepenatan yang hendak dilepaskan dari tubuhnya itu. Dua gundukan dada itu menyembul dari
balik gaun tidurnya yang berwarna biru itu. Tampak tali behanya yang berwarna hitam.
“Ngeliatin apa sih?” katanya sambil memperbaiki tali kutang yang agak melorot di bahunya.
“Nggak.” Jawabku sekenanya.
Ku lihat ia menatapku tajam. Aku balas menatap. Wajahnya tampak memerah. Aku menahan nafas. Apa
rasanya gadis ini? apa bedanya dengan Nisa kekasihku?
Pikiran-pikiran itu berkelebat cepat begitu saja. Seolah dunia sudah jungkir balik. Tak ingat lagi
dengan Nisa, dengan Silvi temannya yang barangkali akan pulang. Aku pun bangkit, meraih tangan gadis
itu. Liani diam saja, tapi dia tersenyum sambil tertawa sedikit.
“Nggak ada waktu, Kak…” katanya pelan tapi membalas remasan tanganku.
Kuselipkan jemariku di jemarinya, dia membalas. Matanya menatapku seolah mengatakan, kalau ingin
melakukannya lakukanlah sekarang juga mumpung Nisa dan Silvi belum pulang. Dan itu tidak masalah
apakah mereka akan tahu atau tidak, aku pandai menjaga rahasia.
Bisikan-bisikan itu mengiang di telingaku semakin membuat gairahku bangkit. Apalagi jika kulihat tubuh
Liani yang montok dan dadanya yang naik turun menahan nafas yang mulai terengah.
Semakin lama remasan semakin erat. Tubuh kami semakin merapat dan terasa tubuh gadis itu memanas.
Entah oleh nafsu entah oleh hasrat yang tertahan. Tidak, aku tidak akan menyia-nyiakan kehangatan yang
disuguhkan gadis ini, meski bukan kekasihku, tapi… perselingkuhan selalu terasa nikmat.
Dia memang beberapa tahun lebih tua dari gadisku, cenderung lebih dewasa, tapi tak kusangka dia
menyimpan kehangatan dan hasrat memadu cinta yang begitu terpendam dan panasnya memancar di malam ini.
“Kak… di dipan itu aja, yuk.” Ajaknya.
Senyumannya dari wajahnya yang memerah kelihatan agak genit. Aku setuju, walau pun cuma dipan beralas
kasur tipis jadilah. Yang penting aku bisa menikmati tubuhnya malam ini.
Maka, seperti orang kesetanan sambil berpeluk erat kami melangkah ke arah dipan. Di pinggir dipan ia
melepaskan pelukanku, dan perlahan tapi pasti menurunkan gaun tidurnya.
Aku hanya bisa memandang mengagumi tubuhnya yang putih mulus dan penuh padat berisi itu. Sementara
menurunkan celana dalamnya ia memandangku sembari menatap ke arah bawah. Oh, aku belum membuka celana
panjangku, terlalu mengagumi kemolekannya
Tak lama kemudian kami sudah berpelukan hampir tanpa busana. Dia berada di bawah dalam posisi
tradisional. Siap dan menanti untuk dimasuki oleh lelaki yang bukan kekasihnya ini.
Kalau Nisa memerlukan fore play yang cukup lama sebelum terbangkitkan, dia barangkali tidak memerlukan
itu. Atau…
“Kalau malam begini… aku selalu membayangkan bersamamu, Bang”. Bisiknya di telinga, kedua tangan
melingkar erat di leherku. Pipinya menempel erat dipipiku.
“Benarkah?” jawabku sambil mencium pipi hangat itu. Liani mengangguk.
“Kadang bayanganmu begitui jelas seolah merasuki tubuhku…. Kalau begitu aku suka… emmh.. basah, Bang.”
“Oh, ya?”
“Iya… coba kamu rasakan, Bang.” Katanya sambil menggerakkan pantatnya, menggesekkan tumpukan
kemaluannya di batang penisku.
Ya, terasa hangat dan basan…
“Sebelum kamu datang, aku sudah membayangkan dirimu.. emhhmmm…”
tanpa sadar ‘dia’ pun … sudah basah… Aku mencium telinga Liani, dia seperti merinding., tubuhnya
menggelinjang karena merinding kegelian.
“Kadang…” bisiknya lagi,
“Keluar banyak sekali, sampai membasahi celanaku… sekarang juga udah begitu, Bang.”
Ya, aku rasakan itu, sangat hangat dan sangat basah. Penasaran aku menyelusupkan jemariku ke daerah
itu. Ya ampun! Sepertinya aku memasukkan tanganku ke seember lumpur yang hangat. Tak disangka, gadis
pendiam ini ternyata menyimpan bara begitu panas. Sebuah rahasia yang selama ini dia pendam…
“Masukkan punyamu, Bang!” pintanya …
“Aku udah gak tahan lagi, sedari tadi aku menahan rasa terhadapmu… jangan sia-siakan malam ini… walau
sebentar, aku akan puas….”
Gadis itu menggelinjang sekali lagi, membetulkan posisi berbaringnya dan membuka pahanya sedikit lebih
lebar agar mudah aku menggelosorkan kemaluanku ke liang senggamanya yang hangat itu.
Terasa meluncur dengan lancar memasuki kemaluan gadis itu.
Terus masuk dan membenam sambil ke celah yang paling dalam. Gadis itu mengetatkan pahanya dan
pantatnya mulai bergoyang ke kiri da ke kanan.
Tubuhnya terasa semakin memanas. Pelukannya begitu erat dan buah dadanya yang menempel menekan ke
dadaku. Dia sudah begitu bernafsu, nafsu yang di pendam lama dan ingin di lepaskan dalam pelukanku
malam ini juga.
Terus terang di menit-menit penuh cinta itu aku tidak ingat lagi dengan Nisa. Gadis ini butuh
dipuaskan. Hasrat yang sudah menyeruak tidak bisa lagi di tarik surut ke dalam. Segala rem sudah di
lepas dan kami pun melayang tanpa kendali menikmati semuanya malam ini….
Kurasa hujan di luar semakin deras. Titik air yang berjuta-juta itu seolah berlomba terjun ke bumi
menimbulkan suara gemuruh tidak henti-hentinya. Tapi gemuruh itu tak sedahsyat gemuruh nafsu kami
berdua, aku dan Liani yang tengah menikmati cinta.
Entah sudah berapa kali batang kemaluanku keluar masuk liang senggamanya. Sudah berapa kali pula dia
menggepit-gepit dan memelukku dengan erat dengan kedua tangannya. Entah berapa kali ia terengah dan
menggelinjang menggeram penuh nikmat.
“Hhhhhh… ehhhhhhh..hhhhhh….” erangnya setiap kumainkan dan kutekan pantatku ke kemaluannya. Luar
biasa, setiap tekanan ke bawah di balasnya dengan tekanan ke atas.
Kurasa sudah sepuluh menit aku mengayun pinggul di atas tubuhnya. Liang kemaluannya terasa semakin
rapat dan sangat licin, mencengkram kuat batang kemaluanku yagn menegang.
Aku kendurkan sedikit gerakanku. Mengalihkan perhatian ke tubuh bagian atas. Liani mengerti, ia
meregangkan tubuhnya menarik kepalanya ke belakang, membiarkan buah dada besar yang putih berkeringat
itu meenyeruak dari pelukanku. Buah dada gadis desa yang besar dan kenyal, tidak seperti payudara
anak-anak kota yang besar tapi loyo….
Dua gumpalan kenyal itu pun kusergap dengan mulutku. Ku lahap dan kukunyah-kunyah sepuas hati. Putting
susunya yang merah itu ku kulum dan kuhisap-hisap sambil kugigit sedikit.
Hanya sebentar saja, gadis itu menjerit tertahan….
“Ohhh.. geli, Bang!” aku terus mengulum…. Berganti ke kiri dan ke kanan, kemudian tanganku pun
meremas-remas pangkal payudara Liani dengan gemas. Sangat kenyal, hangat dan enak rasanya.
“Aku udah gak tahan lagi… Bang,” rintihnya lirih, tubuhnya semakin panas dan berkeringat, tubuhku juga
sama.
Dalam hawa malam yang cukup sejuk karena hujan itu seolah tubuh kami mengeluarkan uap. Tubuh bugil
bermandi keringat yang mengebulkan asap nafsu birahi tak tertahankan.
Setelah puas dengan buah dada kenyal itu, aku memeluk punggung gadis itu. Kurasa dia mengangkat
lututnya, menggepitnya di pantatku. Kemudian ia menurunkan kedua tangannya dan memelukku di pinggang.
“Tekan-tekan lagi, Bang.” pintanya.
Aku juga sudah pingin merasakan gesekan kemaluannyai. Sambil saling berpagut erat aku mengayunkan lagi
pantatku di atas rengakahan pahanya yang montok itu. Dia pun semakin menggepitk-gepitkan kakinya.
Sekarang kami konsentrasi ke setiap gesekan, setiap lipatan, setiap senti dari liang kemaluan Liani.
Malam ini sunguh hanya milik kami berdua. Gesekan-gesekan itu semakin lama semakin berirama. Sementara
Liani melakukan aksi yang menambah kenikmatan, ia menggepit… lalu menahan. Gepit tahan gepit tahan….
Oh tak terlukiskan enaknya bercinta dengan gadis ini.
Gesekan itu semakin intens kami lakukan. Sampai-sampai kami tak sadar kalau hujan sudah berhenti.
Malam di luar terasa hening…. Tapi di atas dipan yang berbunyi kriak-kriuk ini dua tubuh saling
memompa berpacu mengejar waktu. Takut kalau Nisa dan Silvi keburu pulang.
Aku pun mempercepat ayunanku… sehingga di malam yang menjadi sunyi ini terdengar jelas suara penisku
yang keluar masuk ke kemaluan Liani. Beradu rsa dalam limpahan cairan kemaluan Liani..
‘Crekk.. Crekk.. Crekkk. Crek…Crekkk.. Crrek….
Kejantananku naik turun menggesek lipatan-lipatan dinding kemaluan gadis itu. Bunyinya terdengar jelas
sekali di telinga kami berdua. Sesekali kutekan akan kuat, gadis itu membiarkan dan menerima tekanan
itu, menggeolkan pantatnya berkali-kali agar kelentitnya lebih tersentuh pangkal atas kemaluanku yang
keras.
“Tekan terus, Bang.. aihh…”
Aku menekan lagi sambil menggerakkan pantat ke kiri dan ke kanan. Mungkin dia merasa gatal dan ingin
gatal itu digaSilvi sampai tuntas…. PenggaSilvinya adalah batang kemaluanku yang dia cengkram dan dia
benamkan sedalam-dalamnya.
“Ohhh..ohhhhhhhhh,” lolong gadis itu melepas nikmat.
Seluruh liang senggamanya berkedut-kedut dan sembari menggepit kuat. Tubuh Liani menggelinjang dan
menegang menahan rasa enak ketika ia mengeluarkan air mani kewanitanya.
“Eughhh…hhhhh… euuughhhhh….. ahhhhh… ” rintihnya sambil menyurupkan wajahnya ke leherku, lehernya
nafasnya menderu, air liur berceceran dari bibirnya yang merah.
Saat itulah aku pun bersiap hendak keluar dan menyemburkan kenikmatan di kemaluanku. Tapi sesuatu
menyebabkan aku berhenti …Masih dalam keadaan bersetubuh dengan Liani… ada sekelebt bayangan melintas.
Aku memandang dengan ujung mataku, di lantai tampak ada dua bayangan seperti diam terpaku. Aku pun
terkejut … bayangan siapa itu?
Perlahan kulihat wajah Liani yang matanya masih setengah terpejam. Kemudian matanya perlahan terbuka…
Dia pun melihat bayangan itu dan menatap langsung ke ruang tengah. Samar-samar di bola matanya yang
hitam itu kulihat dua sosok berdiri menatap ke arah kami.
Itu bayangan Nisa dan Silvi! Silvianya sudah beberapa menit tadi mereka berdiri di sana, menatap kami
yang sedang asyik memagut cinta. Apakah mereka tadi mendengar juga.. bunyi crek…crekk.crekk.. alat
kelamin kami yang sedang berkelindan? Entahlah, aku tak berani membayangkan hal itu.
Anehnya, meski pun Liani sudah tahu kehadiran mereka, dia diam saja. Tidak memberi tanda bahwa
kekasihku dan temannya sudah pulang. Bahkan seolah membiarkan mereka menonton kami yang sedang
beradegan mesra di atas ranjang.
Terdengar bunyi deheman kecil, dehem khas suara perempuan. Seolah memaklumi kami yang masih dalam
posisi senggama ini. hmmm… aku tahu itu suara Nisa, aku bisa membedakannya.
Sedetik dua detik aku tak tahu apa yang harus kuperbuat, kemudian Liani melakukan sersuatu yang tidak
kuduga. Dia seperti melambaikan tangan dari balik punggungku. Menyuruh kedua ‘adik’ kostnya itu masuk
ke kamar…
“Teruskanlah, Bang. Nggak apa-apa, kok….” Bisiknya di telingaku.
“Ngapain malu.. kita kan sedang enak, kamu enak aku enak…. Mereka juga pasti maklum….”
Oh, ya? Bercinta dengan orang yang bukan pacar, dan dilihat oleh mereka pula? Apa pula ini?Exibit kah
ini? Ya, sudah! Aku gak sempat memikirkan sejauh itu. Kalau bagi Liani tidak apa-apa, dan Nisa serta
Silvi pun justru menikmati pemandangan ini…. kuteruskan saja.
Perlahan dua gadis itu berlalu, seperti tak terjadi apa-apa, kecuali tawa kecil Silvi yang terdengar.
Aku memandangi mereka yang pergi menjauh, tiba-tiba Nisa menoleh ke belakang. Dia menatap mataku
langsung, di bibirnya tersungging senyuman yang aneh … di situasi seperti ini… senyum yang tampak
nakal.
Aku tak tahu apa akan terjadi sesudah ini, bagaimana hubunganku dengan Nisa? Bagaimana pula aku akan
menemui mereka setelah ‘permainan’ penuh keenakan ini? Tak bisa lagi aku berlagak seperti seorang
lelaki yang setia hanya pada satu perempuan. Tapi tampaknya Nisa pun tak keberatan jika aku mengencani
kakak kostnya Liani.
Ah. Dunia ini memang aneh… di tempat yang tampaknya biasa-biasa saja ternyata tersimpan bakat-bakat
cinta yang terpendam yang menanti untuk dikeluarkan dan dinikmati setiap lelaki semacam aku. Aku tak
tahu harus bergembira atau… entahlah!
Aku meneruskan permainanku dengan Liani. Gadis itu sudah sampai ke puncak syahwatnya… kini giliran
aku. Perlahan-lahan aku mulai memompa lagi … kemaluanku naik turun menggesek kemaluan Liani yang basah
itu. Bunyi crek.. crek.. crek.. creeeek… terdengar ke segenap ruangan.
Aku agak termangu mendengar suara itu… tidakkah akan sampai ke telinga mereka berdua yang sekarang
sudah ada di kamarnya?
“Terusin aja, Bang….. Kalo enak ngapain juga di berhentiin” bisik Liani seolah hendak menghapus
keraguanku.
Maka aku pun meneruskan lagi, kali ini dengan irama yang lebih cepat dan… tak lama kemudian creett…
cretttt… sambil menekan aku keluarkan air maniku di dalam kemaluan Liani yang mencengkram erat itu. Oh
nikmatnya.
Beberapa menit telah berlalu. Sesudah menghapus keringat di dadaku Liani mengenakan pakaiannya.
Kemudian sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia merapikan rambutnya yang kusut masai. Wajahnya tampak puas.
Sangat puas telah beroleh kenikmatan yang selama ini didambakannya. Seraya membetulkan tali beha dan
menyempalkan payudara besarlnya ia berkata.
“Bang, aku masuk dulu ke dalam…. Nanti Nisa kusuruh keluar, ya!”
Aku hanya mengangguk mengiyakan, gadis itu pun bangkit dan berlalu dari hadapanku. Sementara aku duduk
termangu sambil menghisap sbatang rokok. Tak lama kemudian Nisa keluar menemuiku, kali ini tidak
memakai busana yang dikenakannya tadi, tapi sudah berganti dengan gaun tidurnya yang berwarna pink.
Bahannya yang halus menampakkan lekuk tubuhnya yang seksi. Aku menelan ludah… pasti dia bakal marah
karena kelakuan kami tadi.
Dia hanya tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. Tak tampak tanda-tanda emarahan di sana. sejenak
dia hanya diam.. kemudian tiba-tiba dia bangkit dan ‘menyerbu’ ke arahku.
Melingkarkan tangannya di leherku dan menciumiku penuh nafsu. Aneh, dia tidak marah, bahkan setelah
melihat kami bercinta seolah nafsunya bergelora ingin dipuaskan juga.
“Nisa… maafkan.. aku telah…” belum sempat kuselesaikan kalimatku dengan bernafsu dia mencari bibirku
dan menciuminya dengan garang.
Oh,… gelagapan aku dibuatnya. ceritasexterbaru.org Aku tidak tahu, apakah dia marah atau sudah terangsang…. Aku balas
ciuman itu, lidahnya terjulur dan bertemu dengan lidahku. Beberapa saat lamanya lidah kami berjalin
berkelindan seperti tak mau lepas. Dengan rakus pula dia hirup air liurku, meneguk dan menelannya.
Setelah puas giliran aku yang menghisap cairan mulut itu. Setelah itu kami melepas ciuman dan saling
memandang selama beberapa saat.
Tanpa banyak berkata-kata dia menurunkan gaunnya ke bawah, menampakkan dua gumpal buah dada yang tidak
memakai beha. Putting susunya meruncing dan tegang.
“Aku terangsang sekali melihat kalian berdua tadi…. ” katanya terengah sambil mengasongkan kedua
susunya ke arahku.
Aku pun menyambut, tangan kiriku meremas dan mulutku mengulum puting susu yang satunya. Tiba-tiba
gerakankuterhenti. Dengan wajah kaget Nisa menatapku heran. Aku lupa mematikan puntung rokok yang ku
hisap tadi. Gadis itu tersenyum dan kamipun melanjutkan permainan hangat ini. Buah dada besar montok
dan kenyal itu kukunyah sepuas hati.
Nisa mendesah keenakan. Jemarinya mencengkram kepalaku, mengusutkan rambutku. Masih dalam posisi duduk
ia mengangkang .. melepas gaunnya yang sudah setengah terbuka…. Dia pun tidak bercelana dalam sehingga
gundukan vaginanya yang tebal dan tidak berambut itu merekah di depanku.
Cairan bening meluap keluar. Mengalir di sela-sela celah kemaluannya. Di tak pedulikannya. Dibiarkan
lendir bening itu mengalir…. Bahkan dia menyuruhku untuk memegangnya… jemariku menyelusup ke liang
senggama Nisa, hangat dan sangat basah oleh cairan pelicin.
Kusentuh klentitnya yang merah dengan ujung jemariku.
“Akhh….” Nisa melolong tertahan.
“Geli, Kak!” desahnya tersentak.
Kemudian sembari memeluk leherku, dan mencium keningku dia mengajakku ke dipan tempat aku dan Liani
tadi bercinta.
Tak banyak cingcong kurengkuh dan kugendong tubuh hangatnya ke dipan itu. Di sana dia kubaringkan.
Tapi ketika aku hendak membuka celana, tiba-tiba ia mendudukkan tubuhnya yang sudah bugil itu. Aku
heran, apa yang akan dia perbuat.
“Bukalah celanamu, Kak!” katanya tak sabar sembari menarik resleting celana panjangku.
Setela memelorotkan celana dalamku, dengan sangat bernafsu ia memegangi pangkal kemaluanku yang
kembali menegang.
“Besar dan nikmat….” Seru Nisa sambil meremas-remas kemaluanku.
“Sekarang giliranku…” katanya agak keras.
Ia turun dari dipan dan berdiri di sampingku, di dorongnya dadaku ke arah dipan, menyuruhku berbaring
disana. Aku menurut. Setelah aku berbaring, Nisa pun menaikkan sebelah kakinya dan mengangkang di
atas. Perlahan dia menekuk tubuhnya dan memelukku dari atas.
“Masukkan, Kak.” Pintanya dengan nada gemas.
Ia memegang batang kelaminku itu dan memasukkannya ke dalam liang kemaluannya. Kemudian dengan agak
kasar dia menghenyakkan pantatnya ke bawah agar kemaluanku masuk lebih dalam ke tubuhnya.
“Ehhhhh…. Hhhhh” desahnya kacau seperti anak kecil yang rakus menetek di susu ibunya.
Dalam posisi di atas dia menaik turunkan pantatnya dengan cepat… oh… batang kemaluanku di cengkram dan
di gesek-gesek seperti itu. Geli rasanya.
Posisi di bawah jarang aku lakukan…. Tapi kali ini aku menerima saja, karena tadi sudah lumayan capek
meladeni Liani. Kali ini Nisa yang giat menekan-nekankan pantatnya, maksudnya supaya punyaku masuk
lebih dalam.
Sembari memelukku erat, ia terus mengempot-ngempotkan pantatnya. Bunyi crek crek crek terdengar lagi…
kali ini bahkan di tingkahi oleh jeritan-jeritan kecil yang keluar dari mulut kekasihku.
Aku terus berbaring sembari meremas-remas pantatnya yang mulai berpeluh itu. Cairan vagina terasa
terus merembes dari kemaluan Nisa. Dia sudah sangat terangsang. Liang kemaluannya sangat basah dan
panas. Sesekali ia menekan dan menahan. Seolah hendak melumat habis seluruh kemaluanku dengan
vaginanya. Terang saja aku pun semakin keenakan.
Diam beberapa saat menahan tekanan, dia pun mengendurkan dan memulai lagi gerakan naik turunnya. Aku
terus meremas-remas pantatnya. Dadanya yang kenyal itu menekan ke arah dadaku, hampir membuatku sesak
nafas. Tapi aku pasrah.. lha wong enak rasanya.
Selama sepuluh menit Nisa bergerak naik turun, nggak cape-cape kelihatannya. Tubuhnya semakin basah
oleh keringat, bahkan wajahnya sudah dipenuhi keringat sebesar-besar biji jagung. Sebagian mengalir ke
ujung hidung dan menitik menimpa wajahku. Sesekali ia mengibaskan rambutnya yang tergerai..
Aku mencoba memiringkan kepala mencoba mengurangi titikan keringat di wajahku. Pada saat itulah
kembali aku terkesiap. Di ujung ruangan, di pintu kamar Nisa, tegak sesosok tubuh perempuan menatap
kami dengan matanya yang bulat.
Mata besar milik Silvi, teman sekost Nisa. Dia menatap kami tanpa berkedip. Tangan kanannya tertangkup
di dada. Sementara yang kiri tampak meremas-remas ujung gaun tidurnya yang di atas lutut.
Ketika kami saling memandang… dalam posisi Nisa masih di atas dan asyik dengan empotan-empotannya.
Perlahan tangan kiri Silvi mengangkat ujung gaun merahnya. Terus terangkat ke atas menampakkan paha
gadisnya yang padat…
Entah sadar entah tidak gaun itu sudah sedemikian terangkat, sehingga aku bisa melihat celana dalam
yang tersingkap. Kemudian ia menarik pinggir celana dalam itu… menampakkan segumpal tumpukan daging
berbulu dengan celah merah di tengahnya.
Ujung jemari menyentuh bagian tengah celah itu. Menekannya dan memutar-mutarnya sedikit. Ya ampun…
kemudian dia menatapku.. dengan mata setengah terpejam.
Saat itulah Nisa menengadah…. Dan menyurukkan kepalanya ke leherku, memelukku kuat dan mulai mendesah
berkepanjangan. Pantatnya menekan kuat sampai seolah kemaluanku mau ditelannya sampai habis.
“Kak.. enak sekali.. ahh” terasa kemaluan Nisa berdenyut hebat, tubuhnya bergetar tak kuasa menahan
nikmat… nafasnya sangat memburu… dan.. Dia pun lunglai dalam pelukanku….
Sementara air mani gadis itu mengalir tak tertahankan, meluap dan mengalir membasahi sampai bagian
perutku.. aku peluk gadis itu di punggungnya… membiarkan ia mengendurkan syaraf setelah ia tadi sangat
tegang menikmati puncak orgasmenya.
Sampai beberapa menit kami masih berpelukan, kejantananku yang masih tegang itu masih berada di dalam
’sangkar’-nya. Nisa diam tak bergerak dalam pelukanku, sepertinya dia lupa ada sesuatu yang bersemayam
dalam tubuhnya.
Perlahan gadisku ini mengatur nafasnya yang tidak teratur. Setelah agak reda… perlahan dia bangkit dan
melepas persetubuhan kami. Lambat ia mengangkat pantatnya ke atas. Perlahan alat kelaminku itu keluar
dari vagina Nisa. Ketika sudah keluar seluruhnya…. Cairan vagina yang kental nampak melumuri batang
kemaluanku. Ketika bagian ‘kepala’-nya akan keluar terdengar seperti bunyi plastik lengket yang basah
akan di lepas..
Clep..crrrllek. Nisa tersenyum mendengar suara itu. Entah suara lipatan kemaluannya atau karena lendir
yang begitu banyak melumuri batang kemaluanku.
Ia pergi ke tengah ruangan dan memakai gaunnya kembali, rona wajahnya menampakkan kepuasan yang tiada
terkira. Sambil bernyanyi kecil, seperti baru sudah pipis, ia memebenahi rambutnya yang kusut masai.
Dan berjalan ke belakang rumah, meninggalkanku yang hendak mengenakan celana dalam ku.
Belum sempat aku memakai celana itu, tiba-tiba Nisa sudah kembali. Membawa sehelai kain sarung dan
menyuruhku mengenakannya. “Pakai ini aja, Kak!” katanya seraya mengambil celana panjang dan kolorku,
melipatnya dan merengkuhnya dalam dada. Kemudian ia pun kembali ke belakang.
Tak lama kemudian ia datang lagi, membawaku segelas minuman, kalau tadi Liani membawakanku segelas air
putih, kali ini Nisa menyuguhiku dengan teh manis. Aku segera mereguknya karena merasa kehausan,
bayangkan saja melayani dua wanita secara bergilir tanpa istarahat sama sekali. Capek donk!
Ketika aku meminumnya, alis mataku terangkat, minuman apa ini? Rasanya kok pahit banget? Sebelum
sempat bertanya Nisa berkata perlahan,
“Itu sari dari akar Pasak Jagad Kak!”
“Haa?
Kekasihku tersenyum, itu kan obat kuatnya lelaki, kalau minum jamu itu pasti bakal melek semaleman,
kataku sesudah menelan tegukan terakhir. Gadis itu hanya tertawa kecil. ‘Biar aja nggak tidur
semaleman… besok kamu kan nggak kerja, tidur aja sepuasnya di sini.
Setengah jam kemudian kami masih ngobrol di ruang tamu. Masih terbayang-bayang permainan kami berdua
barusan. Tak disangka begitu bernafsunya Nisa, sampai-sampai kuat main di atas hampir setengah jam
lamanya, sementara aku anteng aja di bawah.
Tiba-tiba Nisa bangkit…
”Kak,” katanya,
“Aku ke dalam sebentar.” Aku mengiyakan saja, kupikir dia mungkin mau sedikit merapikan dandanannya
yang agak amburadul itu.
Aku akan menghela nafas ketika terdengar dia memanggilku dari kamar.
“Sini sebentar, Kak!”
Aku pun bangkit dan berjalan menuju ke kamarnya, sebelum tiba di pintu kamarnya aku melewati kamar
Liani yang hanya dihalangi secarik kain gorden, diam-diam ku singkap tirai kamar itu. Tampak Liani
tertidur pulas, masih mengenakan gaun yang tadi, pahanya yang terbuka nampak putih dan mulus.
Kamar berikutnya adalah kamar Silvi, hmmm… jantungku berdegup agak kencang. Apa yang dilakukannya tadi
ketika aku dan Nisa sedang menikmati seks? Entahlah, aku tak tahu. Tapi aku pengen tahu sedang apa dia
sekarang?
Perlahan kusingkapkan juga tirai pintu kamarnya itu. Kasur tempat tidurnya masih tampak rapi, bantal
tersusun di tempatnya. Ke mana cewek itu? Kok nggak ada di biliknya? Sedikit heran aku terus melangkah
menuju kamar Nisa.
“Masuklah, Kak! Jangan malu-malu, aku tahu kamu sudah berada di situ.” Kata Nisa lagi, bergegas aku
pun masuk ke kamarnya…
Oh di sini rupanya Silvi, dia sedang tidur telungkup di dipan Nisa, sementara cewek ku itu sedang
menyisir rambutrnya menghadap ke cermin. Tanpa mengacuhkan aku dia pun menyuruhku duduk di dipan
dengan gerakan tangannya.
Dipan ukuran single itu lumayan sempit, apalagi sekarang sudah ada Silvi yang tidur di sana. Nisa
berbalik menghadapku, ditatapnya aku dengan tajam. Kemudian perlahan dia mengalihkan pandangannya ke
tubuh temannya yang masih telungkup itu.
“Terserah kamu, Kak. Mau di sini atau di kamarnya…. Aku ikhlas aja, yang penting…. Dia bisa juga ikut
merasakan ….”
Aku melongo? Dia suruh aku menikmati pula tubuh Silvi!? Tubuh perempuan sintal yang sedang
tertelungkup ini? Nisa mengangguk pasti.
“Kami lihat apa yang kalian lakukan, Silvi pun lihat kita tadi… kami bertiga bersahabat, resminya kamu
memang milik aku… tapi.. berbagi antar sahabat tak ada salahnya, bukan? Lagi pula aku rela kok, selama
tidak dengan yang lain selain mereka.”
Dalam hati aku cuma bisa mengangkat bahu. Kalau dia sudah mengikhlaskan temannya, dia tidak marah
apalagi jadi membenci aku, lagi pula kalau dengan begitu dia jadi terangsang dan menikmati juga, apa
salahnya.
Aku berpikir cepat, katakanlah malam ini adalah semacam sex party, dan aku menjadi rajanya sementara
menjadi ratuku yang harus kupuaskan, oke saja sih. Hehehe. Kebetulan aku ingin mencobai juga tubuh
Silvi yang berkulit sawo terang ini.
“Aku menunggu di kamarnya,” kataku kepada Nisa, cewek itu mengangguk setuju.
Dipan singel Silvi terasa cukup nyaman. Bantalan busanya masih cukup baru, dia memang belum lama kost
di rumah ini, mungkin baru setengah tahun. Aku berbaring dengan rileks. Memandangi dinding kamar yang
dipenuhi poster Nisa sambil memikirkan apa yang telah kudapat malam ini.
Mula-mula Liani menyerahkan dirinya kepadaku, kemudian Nisa yang memintaku untuk memuaskannya, dan
sekarang Silvi, gadis paling pendiam yang jarang ngobrol denganku. Gadis ini pun menginginkan ku pula…
hehehe.. dasar gede milik, yeuh
Semilir halus wangi parfum masuk ke hidungku.Terdengar pintu kamar terbuka, perlahan Silvi masuk ke
kamar itu. Seperti orang baru bangun tidur. Ia langsung duduk di dipan itu,
“Ada apa, Kak?” tanyanya seolah tak mengerti.
Aku tersenyum, pandai juga dia menyembunyikan perasaan sebenarnya.
“Eh, kain sarung siapa yang kamu pakai itu, Kak?”
“Hehe.. ini pemberian Nisa tadi..”
Kedua bola mata gadis itu membulat… menatapku seolah tak percaya. Terus terang saja, dia cantik juga.
Rambutnya yang ikal itu dibiarkannya tumbuh sampai sebatas punggung. Meski baru bangun ‘tidur’ tapi
tak mengurangi kesegaran dan pesona cantik yang terpancar di wajahnya.
Aku menarik gadis itu ke pelukanku, tubuhnya terasa berat karena ia seperti menolak, tapi kemudian
malah dia yang merangsek dalam dekapanku.
“Jangan , Kak! Nanti Nisa marah..” katanya berbasa-basi.
“Dia marah kalau aku tidak menayangimu juga….”
“Kamu bisa aja, Kak!” katanya sambil menengadah dan menyentuh pipiku.
Aku mengecup bibirnya, dia sangat menikati kecupan kecil itu, matanya terpejam, tubuhnya melunglai,
dan aku pun memeluk tubuh sintal itu lebih erat.
Ia membalas pelukanku dan membiarkan bibirnya kulumat… beberapa kali ia mengeluh nikmat. Terasa
tubuhnya bergetar ketika aku mulai merengkuhnya.
Kemudian aku pun mulai menyusuri seluruh lekuk dan liku tubuh gadis itu. Semakin lama tubuh itu terasa
panas, setiap gumpalan dan tonjolan dagingnya terasa begitu membara dipenuhi gairah terpendam.
Aku membaringkan tubuhnya sementara kedua tangannya terus melingkar di leherku. Nafasnya terdengar
agak memburu, gadis ini sudah mulai terangsang. Kuperiksa bagian kemaluannya dengan jemariku. Ternyata
belum cukup basah, masih terasa agak kering. Kucumbu dia terus supaya gairahnya lebih menggelora
Entah berapa lama kami saling mencium saling menyusup dan berkelindan, aku pulang suka buah dadanya.
Sangat kenyal, besarnya pun sedang saja, tapi putting susunya sangat kecil, hanya sebesar biji kacang
hijau. Tampak sekali putting itu sudah mengeras.
Ketika kuremas-remas buah dadanya, wajah gadis itu menengadah, matanya terpejam rapat, bibir agak
terbuka. Setiap remasan adalah rangsangan bagi tubuh segar ini. Semakin intensif aku meremas, semakin
intens juga dia menikmatinya. Ketika kuraba kemaluannya, lendir pelicin yang kental sudah mulai
keluar.
Perlahan aku mengusap-usap jembut halus yang tumbuh di sana. Sesekali agak kutekan agar menyentuh
bagian klentitnya. Tuibuhnya menggelinjang karena geli.
Perlahan tapi pasti cairan pelicin itu mulai keluar, merembes ke permukaan dan mengakibatkan jembut-
jembut halus itu terasa mulai kuyup. Hmmm.. Silvi sudah siap untuk dimasuki. Sambil memegang pangkal
kemaluanku aku pun memasukkannya. Terasa licin dan rapat. Batang kemaluanku seperti menembus lipatan
daging hangat yang basah oleh lendir.
Creep…. Masuklah aku ke tubuh Silvi. Gadis itu melepas nafas panjang, merasakan nikmatnya gesekan di
kemaluannya. Entah kenapa aku sangat-sangat terangsang dengan gadis ini, mungkin ini bukan yang
pertama baginya, tapi… dia melakukannya seperti baru untuk pertama.
Sepuluh menit pertama kami mengadu rasa, menggesek-gesekkannya dengan gerakan rutin. Sementara Silvi
pasrah saja sambil memelukku dan membenamkan wajahnya di leherku. Nafasnya semakin lama semakin
memburu, tubuhnya semakin panas. Titik-titik keringat mulai keluar dan lama-lama peluhnya semakin
membanjir.
Kota kecil ini memang lumayan panas meski di malam hari, apalagi rumah kost itu tidak berAC, tubuhku
pun kembali berkeringat. Tapi kami tak peduli, kami terus berpelukan menikmati pergumulan itu.
Kami masih bergumul ketika akhirnya memasuki tahap kedua. Kukeluar-masukkan penisku secara berirama di
liang kemaluannya yang pasrah itu. Gadis itu memelukku lebih kuat. Tak peduli dengan tubuh yang
bersimbah peluh.
‘Crekecrekecrek…’. Sepuluh menit lamanya aku menggesek-gesek kemaluan Silvi dengan kemaluanku. Terasa
punyaku semakin menegang keras. Kemudian aku menekan… Silvi membalas dengan mengempot ke atas.
Menggerakkan pinggulnya berputar-putar, ganas sekali putarannya. Aku naik turunkan lagi pantatku
beberapa kali, kemudian kutekan dalam-dalam….
“Ahhh…,” gadis itu mendesah nikmat.
Kemudian membalas lagi dengan tekanan ke atas, sambil menggoyang pantatnya ke kiri dan kekanan.
Lipatan kemaluannya yang hangat terasa semakin kenyal dan licin.
Beberapa kali kami melakukan itu, aku pun jadi tak tahan. Tapi dia belum mencapai puncak. Aku akan
membuat dia duluan merasakan kenikmatan.
Aku pun semakin aktif mengocok dan menekan memek Silvi. Tulang kemaluan kami beradu, bibir kemaluanya
yang tebal menahan tekanan itu dengan nafsu, terasa hangat dan sangat basah karena lendir mani Silvi
sudah melimpah sedari tadi.
Dua menit kemudian gadis itu melolong merasakan vaginanya berdenyut nikmat..
“Ooohhhhh….”
Aku membantunya dengan menekan semakin dalam. Silvi pun membenamkan tubuhnya ke kasur, menahan
tindihanku sambil melepas nikmat, seiring dengan mengalirnya air mani prempuan itu dengan lebih deras.
Merembes dari lipatan-lipatan kemaluannya.
“Enak sekali, Kak…eigh oh…!”
Berbarengan dengan itu akan pun mencapai puncak. Kemaluanku terasa berkedut seiring dengan
menyemburnya air maniku di liang senggama gadis itu. Sementara liang senggama Silvi pun menggepit-
gepit tak terkendali karena tak kuasa menahan nikmat yang luar biasa.
Kami masih berpelukan ketika rasa nikmat itu tercapai sudah. Gadis itu diam dalam pelukanku, tubuhnya
sangat basah oleh peluh. Hawa panas pun terasa menyergap. Berangsur kami saling melepas pelukan.
Perlahan gadis bangkit itu duduk dari posisinya. Gurat-gurat kepuasan terpancar di wajahnya yang
cantik. Sekilas ku lihat memek Silvi yang masih merah dan bibirnya tampak membengkak, cairan-cairan
lendir masih menetes dari sela kemaluannya.
“Enak, Silvi?” gadis itu mengangguk.
Kemudian ia mengusap keringat yang menitik di dadaku.
“Dadamu penuh dengan peluh, Kak. Sini kuusap,” katanya sambil mengelus lembut dadaku yang memang penuh
dengan keringat.
Beberapa saat lamanya kami kemudian berbaring bersama di kasurnya yang sempit itu. Rambutnya yang ikal
dan panjang itu kubelai. Ia bergerak, menyusupkan tangannya di leherku, kemudian memintaku terlentang,
dia ingin tidur di dadaku, katanya. Beberapa saat kemudian Silvi pun jatuh tertidur, tak menyadari air
liurnya yang menitik dari sudut bibir. Aku pun segera terbang ke alam mimpi.
Entah jam berapa kami terbangun. Ketika itu aku dan Silvi masih berpelukan, sementara di luar
terdengar suara-suara seperti sedang bernyanyi. Oh, ternyata hari sudah siang. Itu adalah suara Nisa
yang sedang bernyanyi kecil, sementara di kejauhan terdengar suara orang sedang mandi, barangkali
Liani sedang membersihkan tubuhnya.
Silvi pun sudah mulai terjaga, ia masih memelukku, buah dadanya yang kenyal itu menempel erat di
dadaku. Dari ruang tengah terdengar Nisa sepertinya sedang menyapu lantai. Sementara dari bibirnya
terdengar nyanyian yang sekarang sedang populer.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka, kemudian gorden disingkapkan, dan masuklah Nisa ke dalam
kamar, menatap kami yang masih bugil hanya berselimut kain sarung.
“Hei, bangun! Belum puas juga ya!”
Aku pura-pura tidur sambil memeluk Silvi lebih erat. Gadis itu terkikik… tapi dia juga pura-pura
meneruskan tidurnya. Nisa berlagak marah dan menarik kain sarung penutup tubuh kami.
“Apa mau diteruskan lagi tidurnya? Udah siang tauu,”
Aku menarik kain sarung itu, malu karena kemaluanku sedang menegang setelah beristirahat total
beberapa jam. Tapi kalah cepat, Nisa sudah menangkap batang kemaluanku dan mengusap-usap dengan
jemarinya.
“Oh, jauh lebih besar dari gagang sapu ini… pantesan enak sekali.” Guraunya sambil tergelak sendiri.
“Ya udah, kalau kamu pengen lagi, Silvi. Tuh mumpung lagi berdiri…”
Hampir tak kuat aku menahan tawa dengan canda Nisa, tapi tampaknya Silvi menanggapinya dengan serius,
dia menggerakkan pantatnya, memelukku dari atas dan mengempot ke bawah. Bibir kemaluannya terasa
menempel di batang kemaluanku.
“Tuuh, kan! Pasti mau lagi deh! Terusin aja, Silvi. Enak kok!” sergah Nisa sambil memegangi pinggang
gadis itu, menolongnya mengangkat panta, aku pun memegang pangkal kemaluanku,
menghadapkannya ke memek Silvi yang hangat.
“Udah pas belum?” tanya Nisa, Silvi mengangguk, perlahan Silvi menurunkan pantatnya, maka….
Srrluuuup.. batang kemaluanku masuk lagi ke memek Silvi.
“Main dari atas enak, lho Silvi! Tekan aja biar lebih kerasa…” bisik Nisa agak keras.
Seperti tak peduli kehadiran Nisa di kamar ini, kami mengulangi permainan semalam, tapi kali ini
Posisi Silvi ada di atas. Kusuruh gadis itu menegakkan tubuhnya. Ia menurut dan mendorong tubuhnya
dengan meletakkan telapak tangannya di dadaku.
Sekarang posisinya berubah, aku berbaring sementara Silvi duduk mengangkang di atasku. Alat kelamin
kami telah menyatu, ketika ia sudah duduk dengan benar, nampak memeknya seperti sedang mengulum
kemaluanku sampai ke pangkalnya. Kelentitnya nampak menonjol dan cairan itu kembali mengalir membasahi
jembut-jembut halusnya.
Kami saling pandang sementara masih bersatu, bibir Silvi tersenyum, beberapa kali ia menyibakkan
rambutnya yang kusut. Perlahan dia mulai mengayun, gerakanya seperti orang sedang naik kuda. Naik
turun berirama.
Semenit aku lupa dengan kehadiran Nisa di sana. ternyata ia berdiri di belakang Silvi, memperhatikan
kami yang sedang bercinta dengan gaya seperti itu. Gadis itu menyeringai lebar menampakkan sederetan
giginya yang putih bersih.
Kemudian tiba-tiba ia membuka bajunya, menampakkan beha putih dengan buah dada besar di baliknya. Ia
pun membuka beha itu, melemparkannya ke sudut kamar, menarik rok panjang, membuka celana dalam sampai
akhirnya bugil sama sekali.
Ia pun menyerbu ke arahku, membenamkan wajahku di susunya yang besar dan kenyal, meremas-remas
kepalaku dengan jemarinya. Sementara Silvi terus asyik mengayun-ayunkan pantatnya naik turun.
Aku memeluk punggung Nisa, mengulum dan mengunyah susunya yang kenyal. Cewek itu mendengus-dengus
ketika putting susunya tergigit lembut.
Lama kami bercinta segitiga seperti itu, mungkin ada seperempat jam.
“Kita enak-enakan bareng, Kak.” Bisik Nisa sambil meremas.
Aku setuju, dia sudah hampir sampai puncak, aku pun tak tahan dengan ulah Silvi, yang mengocok-ngocok
dari atas….
Nisa melepas pelukannya dan naik ke atas ranjang, mendudukkan pantatnya di dadaku mengangkang lebar
menampakkan memeknya yang tercukur rapi. Gundukan dagingnya putih mulus dan kemerahan, bibir
kemaluannya tebal dan dipenuhi cairan kental dan hangat.
Ia memajukan memeknya sehingga sampai di mulutku. Kemudian mulai menekan ke arah mukaku.
“Ahh… ayo Kak! Aku udah gak tahan lagi nih.”
Sambil meremas pinggang dan pantatnya aku pun beraksi. Mengganyang habis kue pie lembut dan basah itu.
Nisa segera merintih-rintih ingin segera melepas nikmat. Sementar di belakangnya Silvi tiba-tiba
mengempot dan menekan ke bawah,. Tubuhnya ambSilvi ke depan, menimpa punggung Nisa yang sedang menekan
mukaku.
Wajahku semakin tertekan oleh gumpalan memek Nisa, sementara pahanya menggepit kedua pipiku dengan
kuatnya. Akkkh… aku hampir tidak bisa bernapas. Ya ampun!
“Keluarin bareng, Kak! Aghhh.. ahhh!”
Nisa menekan, Silvi mengempot, dan… aku sesak nafas!
Terdengar suara rintihan panjang berbarengan, Nisa dan Silvi sedang dirasuki kenikmatan. Terasa memek
Silvi berdenyut-denyut sembari melepaskan cairan kewanitaannya, sementara mulutku semakin basah oleh
cairan memek Nisa yang juga berdenyut melepas nikmat.
Kedua tubuh cewek itu lunglai setelah menikmati segalanya. Mereka ambruk berbarengan ke tubuhku. Berat
sekali rasanya menahan dua tubuh perempuan sekaligus, montok-montok lagi.
Seperti menyadari hal itu, Nisa dan Silvi pun bangkit, perlahan Nisa turun dari ranjang, sementara
Silvi pun perlahan mengangkat pahanya, kedua tangan bertumpu pada dadaku.
Saat itulah kemaluanku keluar dari liang sanggamanya, cleep.. terdengar seperti bunyi plastik lengket
yang sedang dibuka. Tampak kemaluanku masih menegang dan basah bergelimang cairan memek Silvi.
Aku terdiam sejenak, tak tahu harus berbuat apa, karena aku belum lagi mencapai puncak gadis-gadis ini
sudah menghentikan permainnya, ketika itulah tiba-tiba Liani masuk ke dalam kamar, melihat kepada
Silvi dan Nisa yang sedang mengenakan pakaiannya kembali.
Ketika ia mengalihkan pandangannya ke arahku, matanya terpaku menatap kejantananku yang masih berdiri
dengan perkasa, merah dan mengkilat bermandikan cairan kemaluan Silvi.
“Kasihkan sama Liani, Kak!” kata Nisa sambil menyempalkan susunya yang montok itu ke balik beha.
Wajah Liani semburat memerah. Mungkin dia tadi mendengar lolongan Nisa dan Silvi yang berbarengan
menahan geli dan enak. Aku tak tahu apakah dia juga sudah terangsang dan ingin di gelitik nikmat lagi?
Tampaknya iya, ia mengangkat roknya menampakkan kedua paha yang padat dan putih mulus. Sementara Silvi
dan Nisa bergegas keluar kamar, meninggalkan kami berdua saja di sana. semerbak wangi harum tubuh
Liasni menusuk hidungku. Gadis ini baru selesai mandi.
Liani naik ke ranjang bersiap-siap hendak memasukkan kejantananku ke memeknya yang, ya ampun, ternyata
sudah bengkak merekah merah dan basah pula. Tapi siapa tahan menahan tubuhnya yang tinggi montok itu
setelah tadi ditindih oleh dua gadis montok sekaligus.
Aku bangkit duduk, mendorong sedikit tubuh Liani, gadis itu seperti kaget. Tapi dia menurut. Kemudian
kusuruh ia berdiri dan … ini dia aku ingin merasakan sesuatu yang lain.
Kusuruh ia berdiri membelakangiku dan menumpukan tangannya di dipan. Posisinya sekarang menungging di
depanku, Liani mengerti, ia mengangkat pantatnya lagi, dari belakang disela-sela bongkahan pantatnya,
nampak kemaluannya membelah. Cairan kental menitik-nitik banyak sekali.
Meski nafasnya ditahan, aku tahu gemuruh di dadanya sudah sedemikian hebat. Tampak dari buah dadanya
yang menggelantung itu bergetar-getar menahan dentaman jantungnya yang meningkat dahsyat.
Aku ingin masuk dari belakang dan kemaluan Liani sudah siap untuk kutusuk dari arah itu. Liani semakin
menunggit menampakkan bongkahan pantat dan memek yang merekah. Aku maju menyorongkan kejantananku ke
arah belahan nikmat itu. Creepp.. kejantanankupun coba menerobos dan berusaha keras memasuki liang
senggama Liani yang terbuka. Tapi gumpalan pantat Liani cukup menahan gerakananku.
Egghh.. aku mencoba lagi dan menekan lebih kuat ke depan. Akhirnya… masuk juga. Oh, rasanya seperti
dipilin-pilin. Aku menekan lagi… kemaluan kami semakin berjalin, tapi bongkahan pantat Liani seolah
menahan gerakanku sehingga aku harus menekan agak lebih kuat.
“Emhh….” rintih Liani tertahan. “Tekan , Bang…. Emmghhh”
Aku bergerak maju mundur dan menekan-nekan, sekujur batang kemaluanku rasanya seperti dicengkram.
Sambil agak membungkuk aku mencoba meraih buah dada Liani, meremas keduanya dari belakang.
Hangat besar dan sangat kenyal. Putingnya kuputar-putar dengan dua ujung jari. Membuat gadis itu
menggelinjang hebat dan semakin mengangkat pantatnya tinggi-tinggi agar kejantananku masuk lebih
dalam.
Tubuh kami semakin berkeringat ketika rasa enak itu semakin memuncak. Aku pun menekan dan menggosok-
gosok lagi dinding memek Liani yang merapat.
Agak sulit main dari belakang, tapi kami menikmatinya. Beberapa manit kami menikmati permainan itu.
Tubuh Liani maju mundur tertekan oleh gerakan tubuhku.
Ketika sedang asyik tiba-tiba gorden kamar kembali terkuak. Sosok tubuh Silvi masuk berkelebat,
seperti tak memperhatikan kami gadis itu menuju ke ujung dipan, ternyata celana dalamnya ketinggalan
di sana.
Kami tak mempedulikan kehadirannya dan terus saling menekan. Aku menekan ke depan sementara Liani
menekan ke belakang. Kemaluan kami sudah begitu menyatu erat bermandikan cairan kental. Tubuh kami pun
menegang dan basah oleh keringat yang membanjir. Rasa nikmat semakin meningkat, semakin lama semakin
hebat.
“Aghhh…hhhh” aku menggeram menahan rasa.
Denyutan-denyutan penuh rasa nikmat menyerang kemaluanku. Liani merintih tak kalah dahsyat… bahkan
lebih hebat dari erangan Nisa dan Silvi berbarengan.
“Bang… agh! Enak banget,…oh Aku gak tahan lagi!
Samar kulihat Silvi mengenakan celana dalamnya…. Ketika itu pula aku dan Liani saling menekan hebat…
menahannya dan merasakan detik-detik penuh kenikmatan. Nafas Liani melenguh-lenguh, keringat
bercucuran dari sekujur tubuhnya. Memeknya menyempit dan … srrr….. keluar banjir yang hebat. Tubuhnya
bergetar menahan rasa geli yang luar biasa. Aku pun menekan semakin dalam.
“Mmhhh…” berkali-kali kemaluanku seperti meledak dalam cengkraman memek Liani.
Berkali-kali pula lipatan kemaluan gadis itu menyempit dan menggenggam kemaluanku kuat-kuat ketika ia
pun melepas nikmat di pagi nan cerah itu.
Silvi mendehem kecil ketika kami menyudahi permainan itu dengan rasa puas. Liani menjatuhkan tubuhnya
yang basah oleh titik keringat di dipan, menelentang dengan nafas masih terengah-engah. Bibir
kemaluannya nampak membengkak, merah dan berkilat penuh dengan lendir. Silvi pun diam-diam keluar dari
kamar, di dekat pintu ia menyibakkan rambut ikalnya, menjeling ke arahku, setelah itu ia pun berlalu.-
Terimakasih Atas Kunjungan Anda.Jangan Lupa Selalu Berkunjung Kembali
supaya tidak ketinggalan Cerita cerita Dewasa Terbaru.
Jika Kamu Menyukai Postingan Ini, Share Ke Teman-Temanmu Di Facebook ya Pulsker!
CERITA SEX DEWASA | CERITA SEX TERBARU | CERITA SEX HOT | NONTON BOKEP
Cerita Sex Hot Nafsu Kenikmatan
Reviewed by Layar Lendir
on
Januari 08, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: